Pahami.id – Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Surabaya memiliki sejarah panjang. Di tempat itu, revolusi jihad dibacakan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Membakar semangat pejuang kemerdekaan.
Puluhan tahun berselang, bangunan tersebut masih berdiri kokoh sebagai saksi bisu perjuangan bangsa Indonesia.
Bangunan ini memiliki arsitektur berciri Indische dengan Baduk Duwurnya.
“Kompleks pemukiman pedagang, rata-rata rumah hunian, kalau warga sekitar menyebut modelnya ‘baduk duwur’ atau lantai yang lebih tinggi dari jalanan menunjukkan strata sosial,” kata Pelestari Budaya dan Sejarah, Kuncarsono Prasetyo kepada Pahami.id, Rabu (16/8/2023).
Menurutnya, banyak bangunan di Bubutan atau di Kawatan Surabaya yang dimiliki pedagang di Surabaya pada masa penjajahan Belanda.
“Dulu rumah itu milik seorang saudagar, kemudian setelah berdirinya NU berada di Kawatan, dan menempati gedung tersebut,” terangnya.
Meski sudah lama ditempati sebagai kantor PCNU, gaya arsitekturnya masih kental dengan dekorasi Eropa.
“Kalau dilihat dari gaya arsitekturnya memang mengadopsi gaya Eropa, tapi menggunakan arsitektur lokal Jawa Timur,” jelasnya.
Keunikan bangunan ini, lanjut Kuncarsono, terlihat dari beberapa tiang besi yang menopang atap teras bangunan. Padahal, menurut Kuncarsono, tiang besi itu harus didatangkan dari Eropa.
“Tiangnya menggunakan besi yang dipadukan dengan ukuran kayu. Padahal, kebanyakan didatangkan dari Glasgow,” ujarnya.
“Pilar berukir, karena mungkin mahal, maka masyarakat setempat kemudian memodifikasinya, jadi mereka membeli besi biasa kemudian ditambahkan ukiran kayu dan ditempelkan di atasnya, sehingga terlihat seperti besi ukiran, tetapi sebenarnya itu adalah kayu. Karena itu adalah koleksi orang lokal, orang Eropa biasanya mampu membeli sehingga mereka mengimpor,” tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut beliau menjelaskan tentang kesatuan budaya Eropa dan Jawa, khususnya di wilayah timur Pulau Jawa, sehingga tidak perlu membawa budaya Eropa saja.
“Arsitekturnya disebut Indische, perkawinan Eropa dengan Jawa Timur. Misalnya ada teras, tapi di Eropa tidak ada teras karena suhunya dingin, kedua kalau diperhatikan bangunannya unik karena ada pintu samping, itu biasanya kalau ada tamu di depan orang atau keluarga perempuan biasanya lewat samping, tidak bisa lewat depan, atau kalau ada bangku, makanannya keluar dari samping. Model rumah seperti itu harus ada pintu samping yang masuk ke dapur atau belakang rumah,” imbuhnya.
Meski begitu, bangunan asli di Kawatan dan Bubutan Surabaya sangat sedikit. Hal ini disebabkan banyak bangunan tua yang direnovasi sedemikian rupa sehingga menjadi bangunan baru untuk perdagangan.
Namun, klasisisme gedung Kantor PCNU Kota Surabaya ini masih kental dengan dekorasi Eropa pada masa penjajahan Belanda.
“Semua rumah di Kawatan dan Bubutan pakai model ini, jadi ada teras, rumahnya lurus, ada pintu dan jendela, ruang tamu dan ruang belakang, ada dapur dan kamar mandi yang biasanya terpisah dari rumah. rumah. , biasanya sudah dimodifikasi jadi sudah digabung,” terangnya. .
“Hanya ada beberapa yang masih berupa bangunan aslinya, bangunan sampingnya masih hampir sama, berlantai dua, Indische, jadi masih banyak hiasan kayunya, tapi yang menarik tiang-tiangnya terbuat dari besi. yang kemudian diukir menjadi kayu,” tambahnya.
Sementara itu, bangunan tua di kawasan tersebut semakin berkurang karena belum adanya regulasi atau aturan yang tegas, sehingga sedikit demi sedikit bangunan lama di Kawatan dan Bubutan Surabaya menjadi baru.
“Masalahnya, Pemkot memiliki peraturan yang disebut kawasan Cagar Budaya, tapi itu tidak efektif, tidak semua rumah berstatus Cagar Budaya, hanya rumah berkebutuhan khusus yang memiliki sejarah,” ujarnya.
Dalam perda ini, perlu dipertegas lagi Perda tentang kawasan cagar budaya, agar bangunan tua di Surabaya tidak berkurang. Karena dengan adanya bangunan-bangunan zaman penjajahan Belanda dapat menjadi kunci penting bagi pariwisata khususnya Kota Tua.
“Tapi di Perbup itu kan ada namanya kawasan Cagar Budaya, maksudnya masuk ke daerah itu supaya kita terbawa, membawa kita ke masa zaman itu, jadi semua izin harus memenuhi Persyaratan Cagar Budaya. , agar bentuknya tidak berubah apalagi kenampakan kedepannya , permasalahannya kemudian di praktekkan itu saja kalau ada izin mendirikan bangunan baru selalu ada pembongkaran bangunan lama dan diterbitkan IMB nya itu saja Budaya Kawasan konservasi dalam praktiknya seperti itu, jadi macan kertas saja, tidak bisa dibiarkan,” ujarnya.
Salah satu contohnya adalah bangunan lama tepat di depan Kantor PCNU Kota Surabaya, yang justru menjadi ruko. Kuncarsono menyayangkan hal itu.
“Seperti masa depan NU, tidak bisa menjadi ruko seperti itu, padahal model sebelumnya seperti kantor PCNU itu. Kalau Warisan Budaya hanya kantor NU, coba ubah semua yang ada di dalamnya, maka kawasan itu akan habis,” dia berkata.
Kontributor: Dimas Angga Perkasa