Survei Ini Ungkap 3 Fakta Jenis Polarisasi Politik di Indonesia yang Masih Terjadi – Berita Jatim

by
Survei Ini Ungkap 3 Fakta Jenis Polarisasi Politik di Indonesia yang Masih Terjadi

Pahami.id – Ada tiga jenis polarisasi politik di Indonesia. Hal itu terungkap dari kajian dan survei politik yang dilakukan Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI).

Hasilnya mengungkapkan bahwa polarisasi politik sebenarnya terjadi pada dimensi jaringan (online) atau dunia maya maupun dunia nyata luring. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Laboratorium Psikologi Politik UI, Profesor Hamdi Muluk.

Dia menjelaskan, hasil survei nasional mengungkapkan masih kuatnya polarisasi berdasarkan agama, polarisasi berdasarkan kepuasan atas kinerja pemerintah, berdasarkan sentimen anti-asing (asing dan asing).

“Varian agama penyumbang polarisasi terbesar,” ujar Hamdi, dalam rilis hasil survei bertajuk Polarisasi Politik di Indonesia: Mitos atau Fakta? Pantauan secara daring di Jakarta, Minggu (19/03/2023).

Selain agama, tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintah juga dapat berkontribusi terhadap polarisasi.Hasil kajian menunjukkan adanya sentimen anti asing yang sering disebut dengan Asing atau Masyarakat Asing.

Menanggapi sentimen tersebut, Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menampik isu dominasi investasi Indonesia oleh asing.

Bahlil sebagai responden pernyataan itu membenarkan bahwa investasi Indonesia sebesar Rp 1,207 triliun pada 2022 belum termasuk sektor migas, keuangan dan UMKM, 54 persennya adalah penanaman modal asing. Dari 54 persen itu, negara terbesar yang masuk adalah Singapura, sekitar Rp 13 miliar USD.

Namun, Bahlil menegaskan, nominal Rp 13 miliar USD itu bukan sepenuhnya milik negara Singapura, bahkan sebagian berasal dari WNI di Singapura, karena di negara Singa Putih itu juga ada warga Timur Tengah, Eropa dan Asia.

“Jadi investasi kita 1.207, PMA 54 persen, PMDN 46 persen, jadi kalau kita gabungkan dan bandingkan di bawah ini, sebagian WNA dari Singapura akan masuk ke Indonesia, jadi PMDN kita lebih besar dari PMA, karena uangnya orang Indonesia. . Hanya saja kita kompromikan seolah-olah ini China, Korea, Jepang,” kata Bahlil.

Kemudian soal ketenagakerjaan, jelas Bahli, 80 persen IUP pertambangan di Indonesia dimiliki negara. Yang dikuasai asing adalah pabrik smelter. Dominasi ini karena Indonesia belum memiliki teknologi, biaya membangun smelter mahal, pengusaha dalam negeri tidak peduli ke arah itu, dan perbankan negara tidak mau membiayai smelter.

“Jadi yang terjadi, kita masukin teknologi dari luar, lalu kita masukin uang dari luar, lalu kita anti asing. Kalau kita tidak mau orang asing masuk, berarti kita akan menjadi negara yang lambat masuk. proses hilirisasi,” jelasnya.

Bahlil juga mengingatkan bahwa narasi negatif tentang investasi asing juga dikonstruksi oleh elit politik yang juga mantan aktivis. Dia memastikan sebagai mantan aktivis kami di pemerintahan tidak akan melacurkan ambisinya.

Namun, dia berpesan kepada elit politik untuk mencari narasi yang baik untuk memenangkan kontes, agar tidak menimbulkan kecemburuan di masyarakat. Karena di Indonesia sebenarnya Indonesia damai, dengan pertumbuhan ekonomi yang baik dan stabilitas yang baik.

“Tapi kita terkecoh dengan isu polarisasi absurd, kecebong pintar, seperti tidak ada tema lain yang lebih pintar, bukan berarti saya tidak mengakui polarisasi itu ada, itu sudah ada sebelumnya. Kita lahir, sejak Adam dan Hawwa ada. ., hanya dibutuhkan kecerdikan kita dalam mengelolanya,” kata Bahlil.

Jika sudah terjadi polarisasi, salah satu upaya untuk mengatasinya menurut Ketua Lakpesdam PBNU Ulil Abshar Abdallah adalah dengan menghimbau kepada pihak-pihak berpengaruh untuk tidak ikut dalam sengketa politik.

Ia berpesan kepada para influencer yang berpuasa untuk tidak mengikuti acara pendukung, melainkan untuk mendinginkan suasana. “Saya imbau agar tokoh yang bisa disebut influencer tidak ikut berpolitik dan mendukung mereka,” kata Ulil.

Berbeda dengan pendapat Ulil, Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari khawatir rekomendasi Ulil tidak dilakukan oleh para influencer, karena ada contoh ulama yang mendukung calon.

Qodari memberikan usulan yang paling mendasar yaitu mengubah desain konstitusional dimana pemenang pemilihan presiden membutuhkan mayoritas sederhana dengan 40 persen atau 35 persen suara dalam satu putaran.

Menurut Qodari, aturan pemenang pilpres harus 50 persen plus 1, ini soal polarisasi. Dengan aturan ini, calon dipaksa masuk ke dalam dua kubu, karena sangat sulit bagi salah satu calon untuk menang dalam satu putaran.

Karena pemilu multipartai, jika ada tiga calon yang kekuatannya relatif seimbang, sulit mencapai 50 persen plus satu dalam satu putaran. Yang akhirnya membuat dua putaran. Jika hal ini terjadi maka akan mengalami perpecahan dan polarisasi yang terjadi dengan dimensi agama.

“Dari sudut pandang ilmu politik saya, salah satu alasan penutupan ekstrem adalah karena desain konstitusional atau desain aturan, dan itu harus diubah, jika konstitusional melalui amandemen UU 1945,” ujarnya. Qodari.

Kesimpulan dalam rilis survei nasional tersebut, polarisasi politik memang telah terjadi di Indonesia, dan diprediksi akan kembali terjadi pada tahun 2024.

Hoax adalah salah satu ancaman polarisasi, namun yang harus dihindari adalah politik polarisasi, sehingga masyarakat diajak untuk mencermati para kandidat dan elit politik yang memainkan politik polarisasi.