Jakarta, Pahami.id —
Artis Yos Suprapto ‘mengancam’ Galeri Nasional Indonesia menyusul dugaan pembatalan pamerannya.
Pameran lukisan karya Yos bertema Kebangkitan: Tanah Kedaulatan Pangan mendadak dibatalkan. Ia mendesak Galeri Nasional memberikan akses terhadap karyanya.
“Jika masyarakat tidak bisa mengakses pameran saya dan tetap terkunci seperti ini, bahkan saya sebagai seniman pun tidak bisa masuk, sebaiknya saya menggunakan pendekatan hukum untuk mendapatkan kunci pembuka pintu,” kata Yos di Pers. Konferensi di Toko YLBHI, Jakarta, Sabtu (21/12).
Meski demikian, Yos belum memastikan kapan upaya tersebut akan dilakukan. Dia hanya menegaskan akan menempuh jalur hukum.
Sang artis mengaku berusaha berdialog dengan beberapa pihak yang terlibat dalam polemik tersebut. Namun Yos Suprapto masih belum mendapat kejelasan mengenai nasib karyanya.
“Kalau ini tetap tidak bisa diakses publik, tetap dikunci apapun alasannya, dan karya saya tetap disensor, lebih baik tidak perlu ada pameran,” jelasnya.
“Saya akan membawa pulang pekerjaan saya, membongkar pekerjaan saya dan membawanya pulang, ke Jogja,” kata Yos.
Lukisan karya Yos ini sebenarnya siap dipamerkan mulai 20 Desember 2024 hingga bulan depan. Namun pameran tersebut ditunda karena masalah teknis yang tidak dapat dihindari.
Balai Negara mengaku memahami adanya potensi kekecewaan. Lembaga Kebudayaan pun meminta maaf kepada semua pihak atas keterlambatan yang tiba-tiba ini.
Meski begitu, Galnas mengklaim keputusan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan matang. Mereka pun berjanji akan menjalin komunikasi dengan Yos Suprapto untuk mencari solusi terbaik.
Di sisi lain, Suwarno Wisetrotomo selaku kurator pameran yang terlibat polemik ini pun angkat bicara. Ia menilai ada dua karya Yos yang menggambarkan opini pribadi terkait praktik kekuasaan, tidak sesuai tema.
“Saya sampaikan kepada seniman bahwa karya tersebut tidak sesuai dengan tema kuratorial dan berpotensi merusak fokus pesan tema pameran yang sangat kuat dan baik,” kata Suwarno dalam keterangan tertulisnya.
“Menurut saya, kedua karya ini ‘terdengar’ seperti makian belaka, terlalu kasar sehingga hilang metafora yang menjadi salah satu kekuatan utama seni dalam menyampaikan perspektifnya,” lanjutnya.
(Skt/Minggu)