Malang Bergolak Lagi Usai Sidang Vonis 3 Polisi Terdakwa Tragedi Kanjuruhan yang Dinilai Tak Adil – Berita Jatim

by
Kecewa Hasil Sidang Tragedi Kanjuruhan, Mahasiswa di Malang Unjuk Rasa

Pahami.id – Sore ini, sidang lanjutan Tragedi Kanjuruhan Malang dengan agenda pembacaan vonis terhadap tiga polisi digelar di Pengadilan Negeri Surabaya. Hukuman terhadap mereka bertiga dinilai terlalu ringan.

Dalam sidang tersebut, majelis hakim membebaskan mantan Kapolres Malang Samapta AKP Bambang Sidik Achmadi dan mantan Kabag Ops Polres Malang Wahyu Setyo Pranoto. Sedangkan AKP Hasdarmawan divonis 1 tahun 6 bulan penjara.

Dalam putusannya, hakim menilai Hasdarmawan melanggar Pasal 359 KUHP yang menyebabkan kematian atau luka karena kelalaiannya. Namun, dua terdakwa lainnya dibebaskan.

Sidang ketiga terdakwa polisi tersebut dimulai pukul 10.10 WIB di Ruang Pengadilan Negeri Surabaya. Pembacaan putusan ketiga terdakwa dilakukan secara terpisah.

Terdakwa Hasdarmawan adalah yang pertama divonis. Selama persidangan, ia mengenakan baju putih dan celana hitam untuk mendengarkan vonis yang dibacakan Abu Achmad Sidqi Amsya.

“Menghukum terdakwa Hasdarman dengan pidana penjara 1 tahun 6 bulan,” kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya Abu Achmad Sidqi Amsya saat membacakan putusan, Kamis (16/3/2023). ).

Keputusan ringan ini menimbulkan kekecewaan berbagai kalangan. Di Malang, Jawa Timur, ratusan mahasiswa dari berbagai elemen langsung menggelar aksi demo di depan kantor balaikota.

Mahasiswa kecewa dan memprotes proses persidangan. Mereka menilai kasus tersebut harus ditetapkan sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Hal tersebut disampaikan Koordinator Aksi Abi Naga Parawansa.

Ia mengatakan putusan hakim persidangan jauh dari rasa keadilan dan kemanusiaan. “Putusan hakim masih jauh dari manusiawi. Kami menuntut Tragedi Kanjuruhan dinyatakan sebagai pelanggaran HAM yang berat,” ujarnya.

Aksi yang melibatkan berbagai elemen mahasiswa dan aktivis di Malang menuntut enam hal. Pertama, mendesak majelis hakim untuk menjatuhkan hukuman seberat-beratnya dan seadil-adilnya terhadap terdakwa di tingkat pertama, pengadilan banding dan kasasi.

Mendesak Komnas HAM dan Kejaksaan Agung untuk proaktif mengusut pertanggungjawaban koruptor tingkat tinggi, Kanjuruhan atas pelanggaran HAM berat secara pro-justice.

Mendesak Mabes Polri untuk segera membenahi institusi kepolisian dan mengusut keterlibatan oknum-oknum dalam tragedi Kanjuruhan. Mendesak Panglima TNI untuk menghentikan segala bentuk tindakan militer dan kekerasan terhadap warga sipil.

Mendesak PSSI dan PT LIB untuk bertanggung jawab secara hukum atas 135 korban tewas dan ratusan korban luka-luka akibat Tragedi Kanjuruhan.

“Kami mendesak Komisi Yudisial menindak tegas hakim yang memeriksa kasus Kanjuruhan karena mengizinkan oknum polisi aktif sebagai penasehat hukum para terdakwa polisi,” ujarnya.

Sebelumnya, Devi Athok, ayah dari korban yang tewas dalam Tragedi Kanjuruhan, NBR (17) dan NDA (13), mengungkapkan kekecewaannya terhadap proses persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya. Hal ini karena hakim dan jaksa terkesan pasif sehingga meringankan peran terdakwa.

“Saya sangat kecewa dengan hasil uji coba di Surabaya karena tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 lalu,” ujarnya.

Harapan Devi, terdakwa kasus yang merenggut nyawa kedua putrinya divonis hukuman mati. “Saya butuh keadilan, pelaku dihukum mati seperti kasus lainnya, kasus pembunuhan,” ujarnya.

Dia menambahkan, kinerja hakim dan jaksa selama proses persidangan dinilai janggal. Harapan besar hakim adalah perpanjangan tangan Tuhan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya dan terkesan membela polisi.

“Pertanyaan hakim dan jaksa (selama persidangan) mengurangi tembakan gas air mata, minimal menyebut gas air mata sebagai penyebab kematian,” katanya.