Rapat paripurna DPR Negara Republik Indonesia secara resmi menyetujui Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kepolisian Nasional sebagaimana usulan inisiatif DPR, Selasa (28/5).
Dalam usulannya, ada dua poin pembahasan yang akan dimasukkan dalam revisi terbaru UU Polri. Pertama, terkait penambahan beberapa kewenangan seperti pengawasan dan pemblokiran di dunia maya dan penyadapan.
Pokok-pokok kedua terkait batas masa pensiun anggota Polri akan diperpanjang menjadi 60 tahun dan dapat ditingkatkan menjadi 65 tahun apabila anggota tersebut menduduki jabatan fungsional.
Setelah diusulkan sebagai inisiatif DPR, revisi UU Polri akan dibahas anggota Dewan bersama Pemerintah sebelum resmi dikukuhkan menjadi undang-undang.
<!–
/4905536/CNN_desktop/cnn_nasional/static_detail
–>
Namun rancangan revisi UU Polri ini mendapat kritik dari beberapa pihak karena dianggap menambah kewenangan Korps Bhayangkara tanpa memperkuat dalam hal pengawasan.
Kritik tersebut salah satunya disampaikan Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Terorisme (KontraS) Dimas Bagus Arya. Menurut dia, perubahan yang tertuang dalam RUU tersebut masih belum menyelesaikan permasalahan institusi kepolisian.
Terkait wacana perpanjangan batas pensiun misalnya, Dimas menilai hal tersebut tidak perlu segera diubah. Kenaikan batas usia pensiun, kata dia, hanya akan menimbulkan permasalahan baru terkait proses kaderisasi internal Polri.
Menurutnya, yang lebih dibutuhkan Korps Bhayangkara saat ini adalah penilaian menyeluruh terhadap mekanisme rekrutmen dan pembentukan kader.
“Dikhawatirkan akan berdampak pada proses regenerasi internal Polri. Namun hal itu tidak menyelesaikan permasalahan penambahan jumlah perwira tinggi dan menengah di Polri,” ujarnya. ke CNNIndonesia.comRabu (29/5).
Ia juga mengkritisi perluasan kewenangan Baintelkam Polri dalam melakukan penyadapan dan pengumpulan intelijen. Kritik tersebut dilontarkan KontraS karena hingga saat ini Indonesia masih belum memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur aktivitas penyadapan.
Oleh karena itu, Dimas menilai jika ketentuan ini disetujui tanpa ada aturan besar terkait penyadapan, maka akan rawan penyalahgunaan kekuasaan.
Sedangkan kewenangan terkait pengumpulan intelijen berpotensi tumpang tindih dengan kewenangan serupa yang dimiliki badan khusus Badan Intelijen Negara (BIN), jelasnya.
Rentan terhadap pembatasan internet
Di sisi lain, ia juga menekankan perluasan kewenangan Polri dalam memberikan pengamanan dan pengawasan di dunia maya melalui RUU ini.
Sebab, dalam rancangan undang-undang yang diajukan DPR, Polri bisa mengambil tindakan, memblokir atau menghentikan, dan berupaya memperlambat akses ke dunia maya.
Padahal, kata Dimas, Polri sendiri punya preseden buruk pada tahun 2021 dengan memblokir dan memperlambat akses internet di Papua secara sepihak.
Oleh karena itu, ia khawatir jika penambahan kewenangan tersebut tidak ditindaklanjuti dengan upaya pengawasan Polri, maka akan menambah angka pembatasan internet sepihak.
“Kewenangan ini sangat rentan disalahgunakan mengingat aturan intersepsi komunikasi dan intersepsi digital masih lemah sehingga rentan terhadap kesewenang-wenangan dalam pelaksanaannya,” ujarnya.
“Perluasan ‘pengembangan’ dan ‘pengawasan’ dunia maya jika dilakukan secara sewenang-wenang dapat melanggar hak privasi warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 17 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik,” ujarnya. ditambahkan.
Baca halaman selanjutnya: Potensi Polisi Sebagai Alat Hegemoni Kekuasaan.
!function(f,b,e,v,n,t,s){if(f.fbq)return;n=f.fbq=function(){n.callMethod?
n.callMethod.apply(n,arguments):n.queue.push(arguments)};if(!f._fbq)f._fbq=n;
n.push=n;n.loaded=!0;n.version=’2.0′;n.queue=[];t=b.createElement(e);t.async=!0;
t.src=v;s=b.getElementsByTagName(e)[0];s.parentNode.insertBefore(t,s)}(window,
document,’script’,’//connect.facebook.net/en_US/fbevents.js’);
fbq(‘init’, ‘1047303935301449’);
fbq(‘track’, “PageView”);