Jakarta, Pahami.id –
Delapan organisasi masyarakat sipil, 1 individu, dan 12 korban proyek strategis nasional (Psn) termasuk masyarakat adat, petani, nelayan, dan akademisi yang menggugat beberapa ketentuan pekerjaan pekerjaan (Hukum Uptaker) yang memberikan legitimasi pada kenyamanan dan percepatan PSN.
Ketentuan -ketentuan ini diedarkan di berbagai sektor hukum, termasuk undang -undang kehutanan, undang -undang tentang perlindungan pangan berkelanjutan, undang -undang perencanaan ruang, dan undang -undang manajemen pantai dan pulau.
Norma -norma ini dianggap menyebabkan kebingungan dan membuka celah dalam pembajakan.
“Ungkapan ‘fasilitas dan akselerasi PSN’ adalah interpretasi yang abstrak dan ganda, sehingga memberi pemerintah kekuatan besar untuk menyetujui proyek besar tanpa mekanisme pengawasan yang memadai,” gerakan rakyat menggugat PSN (Furious PSN) dalam pernyataan tertulis pada hari Selasa (8/19).
Ini bertentangan dengan prinsip -prinsip aturan hukum dan supremasi konstitusional sebagaimana dikonfirmasi dalam Pasal 1 paragraf (3) Konstitusi 1945.
Ketentuan tentang fasilitas PSN juga disebut implikasi untuk penyalahgunaan konsep “kepentingan publik” yang harus ditafsirkan secara ketat.
Dalam praktiknya, mereka mengatakan konsep tersebut memberikan dasar hukum bagi entitas bisnis untuk mengambil alih tanah rakyat termasuk tanah adat tanpa perlindungan hukum yang cukup untuk masyarakat yang terkena dampak.
Kondisi -kondisi ini berdampak pada penilaian paksa dan kurangnya ruang hidup orang yang bertentangan dengan jaminan hak atas kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia seperti yang dijamin dalam Pasal 28d dan Pasal 28h Konstitusi 1945.
Norma -norma juga bertujuan untuk membuka jalan bagi konversi makanan berkelanjutan untuk kepentingan PSN, tanpa mekanisme partisipasi yang bermakna atau kompensasi yang adil bagi masyarakat.
“Ini jelas mengancam hak untuk pangan dan keberlanjutan pertanian, dan bertentangan dengan mandat pasal 33 paragraf (3) dan (4) konstitusi 1945 tentang pengendalian sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat dan implementasi pembangunan yang berkelanjutan dan adil,” kata mereka.
Furious PSN menambahkan bahwa ada kecenderungan untuk konsentrasi kekuasaan di tangan pemerintah federal dengan merusak fungsi pengawasan hukum.
Penghapusan peran DPR dalam persetujuan perubahan dalam pengaturan kawasan hutan, misalnya, menciptakan kebijakan pembangunan skala besar yang sepenuhnya ditentukan oleh eksekutif tanpa mekanisme inspeksi dan keseimbangan yang harus dipertahankan dalam peraturan hukum demokratis.
Ini semakin diperburuk oleh prinsip partisipasi masyarakat dalam perencanaan ruang dan manajemen pesisir, di mana proyek PSN masih dapat dilakukan meskipun tidak ada rencana spasial atau persetujuan masyarakat secara langsung.
Pemerintah belum siap
Hari ini, Selasa (8/19), Mahkamah Konstitusi menjadwalkan persidangan untuk mendengar informasi dari pemerintah dan pemerintah.
Namun, Kementerian Koordinasi untuk Urusan Ekonomi Republik Indonesia telah mengajukan permintaan untuk menjadwal ulang karena tidak siap untuk memberikan informasi.
“Agenda sore ini harus mendengar pernyataan DPR dan Presiden/Pemerintah.
Beberapa aturan yang dipertanyakan dalam hak cipta karya ini termasuk Pasal 3 dari huruf D, Pasal 123 Pasal 124 Paragraf nomor 1 (2), Pasal 173 paragraf (2) dan (4), dan Pasal 31 paragraf (2).
Ketentuan ini dianggap merebut konsep kepentingan publik dan hak untuk mengendalikan negara yang dipercayakan oleh Pasal 33 paragraf (3) dan (4) Konstitusi 1945.
Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan beberapa ketentuan dalam hukum pekerjaan untuk bertentangan dengan Konstitusi 1945 dan tidak memiliki otoritas hukum yang mengikat.
Mereka berharap bahwa melalui permintaan ini, Mahkamah Konstitusi akan dapat memastikan bahwa akuntabilitas administratif negara dalam melaksanakan fungsinya sebagai pemegang tugas untuk melindungi hak -hak konstitusional rakyat.
Pelamar dalam kasus nomor 112/PUU-XXIII/2025 termasuk Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Lingkungan Desa Indonesia (WALHI), dan 19 pelamar lain yang terdiri dari beberapa asosiasi dasar dan advokat.
Sejumlah korban PSN juga menghadiri agenda tersebut, komunitas asli Merauke yang terkena dampak proyek real estat, penduduk pulau di Kepulauan Riau yang mengancam pengusiran proyek kota Eco, sebagai orang yang dipengaruhi oleh orang -orang di Komalyn. Kalimantan dipengaruhi oleh Area Industri Hijau Indonesia (KIHI).
“Kesaksian mereka menunjukkan bahwa efek PSN bukan abstraksi hukum, tetapi realitas kehidupan dalam bentuk tanah adat dan lahan pertanian, kerusakan ekologis yang mengancam ruang hidup, serta praktik kriminal warga yang menolak proyek,” kata PSN marah.
(Ryn/dal)