Berita Fatwa MUI Haramkan Salam Lintas Agama untuk Jaga Akidah

by


Jakarta, Pahami.id

Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas Simak Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melarang penyebutan salam lintas agama hanya untuk menjaga iman Islam.

“Kalau kita bicara fatwa Majelis Ulama Indonesia terkait masalah salam antar agama, jelas konteksnya untuk menjaga keimanan dan agama umat Islam itu sendiri agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak diridhai Allah SWT,” ujarnya. dikatakan. kata Anwar dalam keterangannya, Kamis (13/6).


Anwar menjelaskan, konteks salam dalam ajaran Islam adalah ibadah. Oleh karena itu saudara muslim dapat mengucapkan salam ‘Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh’.

Ia juga menjelaskan bagaimana jika seorang muslim ingin menyapa orang yang berbeda agama? Menanggapi hal tersebut, Anwar mengatakan, ulama melakukan ijtihad karena tidak ada pedoman yang jelas.

<!–

ADVERTISEMENT

/4905536/CNN_desktop/cnn_nasional/static_detail

–>

Dalam melakukan ijtihad, kata dia, para ulama memiliki pedoman agar saat menyampaikan salam tidak merusak keimanan dan keyakinan umat Islam.

“Salah satu hal yang perlu kita jaga saat menyampaikan salam ini adalah bagaimana memastikan bahwa saat kita menyampaikan salam ini kita tidak menyekutukan Allah SWT,” ujarnya.

Oleh karena itu, Anwar menawarkan solusi alternatif ucapan selamat yang paling aman menurut hukum bagi umat Islam untuk digunakan bersama non-Muslim, yaitu ucapan yang tidak mengandung ibadah atau tradisi agama lain.

“Contohnya adalah ucapan yang juga biasa diucapkan masyarakat di negeri ini seperti ‘selamat pagi’, ‘selamat siang’, dan ‘selamat malam’ dan/atau ‘selamat pagi kita semua’,” ujarnya.

Anwar menilai alternatif salam kepada agama lain perlu ditonjolkan agar umat Islam tidak mengucapkan salam dari semua agama dengan alasan toleransi.

Baginya, hal ini penting untuk dipahami karena semangat yang terkandung dalam UUD 1945 mengamanatkan agar warga negara Indonesia menjadi manusia yang baik, patuh dan taat terhadap ajaran agamanya masing-masing.

“Untuk membangun hubungan baik antara kita yang satu agama maupun yang berbeda agama dan keyakinan, sapalah mereka dengan sapaan yang tidak merusak keyakinan dan keyakinan kita masing-masing,” kata Anwar yang juga Wakil Ketua MUI.

Sebelumnya, hasil Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI yang digelar di Bangka Belitung pada 30 Mei memutuskan, salam lintas agama bukan merupakan bentuk toleransi.

MUI menganggap mengucapkan salam sebagai doa yang bersifat ‘ubudiah’ atau mengabdikan diri kepada Allah SWT. Oleh karena itu harus sesuai dengan ketentuan syariat dan tidak boleh tercampur dengan salam dari agama lain.

Fatwa ini kemudian mengundang kritik dan pertanyaan dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf yang mempertanyakan dasar fatwa MUI yang melarang salam antar agama.

Ia menilai enam salam dalam salam lintas agama tidak mencampuradukkan ibadah.

Gus Yahya menganggap kalimat Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh bukan ibadah. Ia juga mengatakan ‘salam sejahtera’ tidak pernah dimasukkan dalam liturgi dalam agama Kristen dan Katolik.

Jadi kalau ibadahnya campur aduk, ibadahnya apa? Gus Yahya pada acara Halaqoh Ulama di Kantor PBNU, Jakarta, Selasa (11/6).

Kritik juga datang dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang menilai keluarnya fatwa ini mengancam eksistensi Pancasila.

“Secara sosiologis, sosialisasi larangan salam antar agama dan selamat hari raya keagamaan mengancam eksistensi Pancasila dan keutuhan kehidupan berbangsa yang telah lama terkristalisasi menjadi kearifan lokal,” kata BPIP dalam keterangan resminya.

BPIP kemudian menetapkan MUI sebagai ormas yang wajib tunduk dan taat pada Pancasila dan UU Ormas. Peraturan tersebut, lanjutnya, mengatur bahwa setiap ormas wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Atas dasar itu, BPIP menilai terbitnya hasil Ijtima MUI tentang larangan salam lintas agama dan perayaan hari besar keagamaan lainnya meniadakan kewajiban ormas sebagaimana diatur dalam UU Ormas.

(rzr/pmg)


!function(f,b,e,v,n,t,s){if(f.fbq)return;n=f.fbq=function(){n.callMethod?
n.callMethod.apply(n,arguments):n.queue.push(arguments)};if(!f._fbq)f._fbq=n;
n.push=n;n.loaded=!0;n.version=’2.0′;n.queue=[];t=b.createElement(e);t.async=!0;
t.src=v;s=b.getElementsByTagName(e)[0];s.parentNode.insertBefore(t,s)}(window,
document,’script’,’//connect.facebook.net/en_US/fbevents.js’);

fbq(‘init’, ‘1047303935301449’);
fbq(‘track’, “PageView”);