Jakarta, Pahami.id —
Wakil Presiden Amerika Serikat, Kamala Harristerus terang berkata Iran adalah musuh terbesar Amerika.
Dalam wawancara dengan CBS yang disiarkan Senin (7/10), calon presiden dari Partai Demokrat itu menjawab tegas saat ditanya siapa “musuh terbesar” Amerika Serikat. Dia mengatakan Iran adalah “musuh terbesar” Washington.
“Saya pikir ada satu hal yang jelas dalam pikiran saya, yaitu Iran. Iran memiliki darah Amerika, [salah satunya ketika] 200 serangan rudal balistik terhadap Israel,” kata Harris seperti dikutip Al Jazeera dan CNBC.
Iran menembakkan sekitar 200 rudal balistik dan hipersonik ke Israel pada 1 Oktober. Serangan tersebut diduga sebagai respons terhadap pembantaian Israel di Palestina dan Lebanon, serta pembalasan atas kematian pemimpin Hamas Ismail Haniyeh dan pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah.
Serangan Iran hanya berlangsung beberapa jam, namun berhasil membuat dunia khawatir. Pasalnya, beberapa pejabat Israel mengatakan kepada media Axios bahwa militer mungkin akan melancarkan serangan balik yang menargetkan fasilitas minyak Iran, termasuk fasilitas nuklir.
Senada dengan isu fasilitas nuklir, Harris dalam wawancara tersebut juga mengatakan bahwa Iran seharusnya tidak memiliki kemampuan nuklir yang mumpuni. Dia menekankan bahwa prioritasnya saat ini adalah mencegah Teheran mencapai kemampuan tersebut.
“Apa yang perlu kita lakukan adalah memastikan bahwa Iran tidak pernah memiliki kemampuan untuk menjadi negara nuklir. Itu adalah salah satu prioritas tertinggi saya,” katanya.
Permusuhan antara Amerika Serikat dan Iran bukanlah hal baru. Iran telah terlibat dalam Perang Dingin dengan Amerika Serikat selama lebih dari 40 tahun.
Konflik yang terjadi baru-baru ini di Timur Tengah telah memaksa AS untuk fokus pada Iran, dibandingkan Rusia, Tiongkok, dan Korea Utara, yang juga merupakan musuh Washington.
Pada tahun 2018, mantan Presiden AS Donald Trump meninggalkan Perjanjian Nuklir Iran, yang memberikan keringanan sanksi kepada Iran sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya.
Di bawah pemerintahan Trump, AS memberlakukan serangkaian sanksi terhadap Iran.
Pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah mendorong agar perjanjian itu dihidupkan kembali pada tahun 2022. Namun, perundingan tersebut gagal setelah Gedung Putih menuduh Teheran mempersenjatai dan melatih pasukan Rusia dalam invasi ke Ukraina.
Bersamaan dengan itu, AS juga lebih banyak menjatuhkan sanksi terhadap Iran, dengan tetap mempertahankan sanksi yang pernah dijatuhkan pada era Trump.
(blq/dna)