Nama Masoud Pezeshkian menjadi sorotan setelah memenangkan pemilihan umum pekan lalu dan menjadi presiden Iran terpilih.
Pezeshkian sukses mengalahkan Saed Jalili dan memperoleh hingga 16,3 juta suara di putaran kedua.
Presiden terpilih yang dicap reformis dan berhaluan tengah (sentris) itu menentang tindakan keras terhadap pengunjuk rasa prodemokrasi menyusul kematian Mahsa Amini pada 2022.
Kemenangan Pezeshkian pun menuai banyak pertanyaan dan keingintahuan mengenai perubahan yang akan dibawa mantan dokter jantung ini ke Iran, terutama terkait politik internasional dan hak asasi manusia di negara tersebut.
Lebih banyak orang yang pro
Pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) Yon Machmudi mengatakan, meski latar belakang Pezeshkian dinilai lebih terbuka dibandingkan pendahulunya yang konservatif, namun kepemimpinannya tampaknya belum mampu membawa perubahan signifikan bagi Iran.
Menurut Yon, siapa pun presiden Iran yang nantinya terpilih kemungkinan besar akan “tunduk” pada visi dan misi pemimpin tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.
Namun yang membedakan, kata Yon, terletak pada cara pelaksanaannya.
“Dalam pendekatannya, Masoud lebih reformis, pro hak asasi manusia, dan memiliki pemikiran tentang penggunaan undang-undang yang ada di Iran yang lebih memperhatikan aspek yang lebih humanistik,” kata Yon. CNNIndonesia.comSenin (8/7).
Pengamat hubungan internasional lainnya yang juga dari UI, Sya’roni Rofii mengatakan, Pezeshkian akan lebih mendengarkan aspirasi masyarakat sesuai janji kampanye.
Ia akan berada di tengah untuk menampung pendapat kelompok tradisional dan moderat.
Pandangan itu menurut saya merupakan pilihan pragmatis yang bisa dipilih untuk konsolidasi internal, kata Sya’roni.
Lanjutkan ke halaman berikutnya >>>