Jakarta, Pahami.id —
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu) menyatakan sebanyak 12.000 WNI (warga negara Indonesia) terkena dampak kejahatan transnasional.
Dalam keterangan resminya, Kementerian Luar Negeri menyebutkan jumlah tersebut terakumulasi selama beberapa tahun terakhir atau pada tahun 2021 hingga 2025.
“Antara tahun 2021 hingga 2025, tercatat lebih dari 12.000 Warga Negara Indonesia (WNI) yang terkena dampaknya, banyak di antara mereka yang menjadi korban kejahatan perdagangan orang (TPPO) dan dipaksa menjadi penjahat (kejahatan paksa) di pusat-pusat penipuan online di kawasan Asia Tenggara,” bunyi pernyataan Kementerian Luar Negeri.
Kejahatan transnasional adalah kejahatan yang melibatkan lebih dari satu negara dalam perencanaan, pelaksanaan atau dampaknya sehingga melintasi batas yurisdiksi negara.
Kejahatan ini dapat mencakup perdagangan narkoba, TPPO, pencucian uang, terorisme, dan bahkan kejahatan dunia maya.
Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia, Arrmanatha Christiawan Nasir (Tata), juga menegaskan betapa mendesaknya ancaman generasi baru kejahatan transnasional akibat penyalahgunaan teknologi, termasuk di Indonesia.
Tahun lalu, Indonesia, lanjutnya, mencatat kerugian finansial sebesar US$ 474 juta.
Respons kita harus bersifat kolektif, terkoordinasi, dan berskala global,” kata Tata saat menghadiri sesi tingkat tinggi Konferensi Internasional tentang Kemitraan Global Melawan Penipuan Online di Bangkok, Rabu (17/12).
Konferensi Internasional tentang Kemitraan Global Melawan Penipuan Online diselenggarakan oleh Pemerintah Thailand dan Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC).
Konferensi ini bertujuan untuk membentuk Kemitraan Global melawan Penipuan Online. Pertemuan tersebut dihadiri oleh para menteri dan pejabat tinggi dari 40 negara, serta perwakilan organisasi internasional, kelompok masyarakat sipil dan sektor swasta.
Lebih lanjut, Tata mengatakan Indonesia mendorong tiga bidang prioritas aksi global. Pertama, peningkatan signifikan dalam kerja sama penegakan hukum lintas batas melalui pertukaran intelijen secara real-time dan aksi bersama untuk membongkar jaringan kejahatan terorganisir.
Kedua, memperkuat kerja sama keuangan dan siber yang melibatkan unit intelijen keuangan dan regulator digital untuk menghentikan aliran dana ilegal.
Ketiga, menempatkan korban di pusat pengobatan melalui perlindungan, rehabilitasi, dan reintegrasi.
Respon global ini, kata Tata, menggunakan mekanisme yang sudah ada seperti Bali Process, ASEAN, Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisir (Konvensi UNTOC).
Ketidakpedulian memberi ruang bagi pelaku kejahatan, namun kerja sama menciptakan keamanan, katanya.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi permasalahan TIP. Pada tahun 2020-2025, korban TPPO asal Indonesia mencapai 7.027 orang di 10 negara.
Dari sepuluh negara tersebut, tujuh berada di Asia Tenggara dan tiga lainnya adalah Uni Emirat Arab, Afrika Selatan, dan Belarus.
(isa/bac)

