Pemilih NU di Jatim Jadi Rebutan, Capres Harus Pahami Tipologi Nahdliyin – Berita Jatim

by
Pemilih NU di Jatim Jadi Rebutan, Capres Harus Pahami Tipologi Nahdliyin

Pahami.id – Pemilih milenial pasti akan mendominasi pemilu 2024. Berdasarkan data KPU RI, daftar pemilih tetap (DPT) di Indonesia berjumlah 204 juta orang. Sebanyak 56,45 persen atau 113 juta di antaranya merupakan pemilih generasi milenial dan generasi Z.

Sementara di Jawa Timur, generasi milenial dan generasi Z juga mendominasi. Dari 31,4 juta pemilih, 31 persen atau sekitar sembilan juta di antaranya merupakan generasi milenial. Sedangkan generasi Z berjumlah 20 persen atau sekitar enam juta pemilih.

Tak heran jika kedua generasi ini menjadi target utama pemenuhan jumlah suara di pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Pemilih tersebut juga banyak yang tergabung dalam komunitas pesantren Nahdlatul Ulama (NU).

Alhasil, pada pemilu presiden khususnya, banyak tokoh muda pesantren yang turut masuk dalam tim pemenangan. Pahami.id pun mencoba merangkum tokoh-tokoh NU yang menjadi tim pemenangan tiga paslon Pilpres 2024.

Pasangan Anies-Muhaimin, ada Nihayatul Wafiroh yang merupakan pengurus Fatayat NU Yogyakarta 2012-2016, KH Maksum Faqih pengurus Pondok Pesantren Langitan Tuban, dan KH Nasirul Mahasin pengurus Al-Tahfidzul Qur’an. Pondok Pesantren Narukan.

Di kubu Prabowo-Gibran ada Habib Muhammad Luthfi bin Yahya yang merupakan Ketua Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah, Ny. H. Machfudhoh Aly Ubaid (Dewan Amanah PP Muslimat NU), KH Ali Masykur Musa (Ketua Umum ISNU PP), KH Nusron Wahid (Ketua PBNU), M. Irfan Yusuf Hasyim (Cucu pendiri NU, KH Hasyim Asyari).

Kemudian KH Asep Saifuddin Chalim (Pimpinan Umum PP Pergunu), Hj. Arifah Choiri Fauzi (Sekretaris PP Muslimat NU), KH Kharor Aschal (Cucu Syaikhona Kholil Bangkalan), KH Abdul Ghofur (Wali Pondok Pesantren Sunan Drajad Lamongan), KH Adib Rofiuddin Izza (Wali Buntet Islam Cirebon). Pondok Pesantren), Juri Ardiantoro (Rektor Cendekiawan Indonesia Universitas Nahdlatul)

Sedangkan di kubu Ganjar-Mahfud ada Arwani Thomafi (putra ulama NU dan pemilik pesantren di Lasem, Rembang, mendiang KH Ahmad Thoifur), Zannuba Ariffah Chafsoh yang dikenal dengan nama Yenny Wahid (putra Gus Dur). , Ahmad Basarah (Wakil Ketua Lakpesdam PBNU)

Dengan tersebarnya tokoh-tokoh NU tersebut, banyak pengamat politik yang menilai suara Nahdliyin akan terpecah. Termasuk di Jawa Timur yang merupakan basis organisasi Islam terbesar di Indonesia.

“Ketiga calon ini memanfaatkan toko NU untuk mempengaruhi suaranya di Jawa Timur. Nanti menyebar, kata Pengamat Politik Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Moch Mubarok Muharram saat dihubungi Pahami.id, Sabtu (18/11/2023).

Mubarok mengatakan, Jawa Timur adalah kunci perebutan suara. Tak heran jika daerah-daerah yang bercirikan pemilih NU menjadi fokus utama para kandidat. Ketiga pasangan tersebut pun memanfaatkan tokoh NU dengan harapan bisa merebut hati Nahdliyin.

Selain itu, strategi ini diharapkan dapat mengamankan suara mahasiswa. “Mereka (pengurus pesantren) akan memfokuskan upayanya pada santri di pesantrennya. “Itulah yang pada akhirnya akan menarik,” katanya.

Meski demikian, Mobarok mengatakan ada tantangan berupa perkembangan teknologi dalam merangkul pelajar muslim. Sebab pelajar generasi milenial dan generasi Z akan mendapatkan informasi dari media sosial.

“Informasi yang mereka peroleh dari teknologi digital akan lebih banyak dibandingkan informasi yang diberikan oleh nyali dan kiai mereka. Hal itulah yang menjadi tantangan bagi pesantren di era saat ini. “Alumni juga banyak yang adaptif dalam mengembangkan teknologi,” ujarnya.

Mau tidak mau, tim pemenangan calon presiden dan wakil presiden juga harus bekerja keras menghadapi kondisi seperti itu.

Namun, ia melihat banyak juga ulama dan ulama yang memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi. Jadi, para pemuka agama ini juga bisa menyebarkan informasinya kepada para santri dan alumninya.

Pengamat politik Mochtar W Oetomo berpendapat serupa. Ia yakin suara NU di Jatim akan terpecah. Misalnya saja Prabowo, meski Ketua Umum Partai Gerindra ini tidak berpasangan dengan kader NU seperti Ganjar dan Anies, namun ia sudah melakukan investasi suara pada Pilpres sebelumnya.

“Harus ada pemilih loyal di kalangan Nahdliyin yang tetap memilih Prabowo,” kata Mochtar. Bahkan, kini banyak tokoh NU yang masuk dalam tim pemenangan pasangan calon tersebut.

Namun, dia menjelaskan, yang perlu diwaspadai adalah berbagai tipologi Nahdliyin. Ada Nahdliyin yang terstruktur di NU dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Mochtar mengatakan, banyak dari PKB yang kemungkinan akan memilih pasangan Anies-Muhaimin.

Selain keduanya, ada lagi NU yang bermarkas di pesantren di bawah bayang-bayang kiai besar. Ia menilai hingga saat ini perolehan suara tipologi NU masih didominasi oleh pasangan Prabowo-Gibran. Ada pula budaya dan ambang batas NU di Mataraman. Mereka lebih mirip pasangan Ganjar-Mahfud MD.

Terakhir, bagaimana calon presiden dan wakil presiden bisa menyentuh Nahdliyin dengan karakternya masing-masing. Nahdliyin itu rumit. “Bukan sekedar tipologi,” jelasnya.

Situasi inilah yang pada akhirnya menentukan keterlibatan Gus, Ning, dan tokoh NU lainnya dalam merebut hati masyarakat NU. Jadi menurutnya calon harus paham cara berkomunikasi dengan masyarakat NU.

“Kalau bicara NU berbasis pesantren, peran Gus, Ning dan Kiai akan sangat signifikan. Namun di luar itu: strukturalisme, budaya dan ambang batas peran NU (gus, ning dan kiai, red.) tidak terlalu signifikan. “Karena keNUannya lebih cair,” ujarnya.

Kontributor: Yuliharto Simon Christian Yeremia