Handbag Bergengsi dari Balik Jeruji Lapas Mojokerto – Berita Jatim

by
Handbag Bergengsi dari Balik Jeruji Lapas Mojokerto

Pahami.id – Produk prestise bukan hanya produk yang dihasilkan dari pabrik dengan mesin berkapasitas tinggi. Namun dengan tangan-tangan terampil, sebuah produk berkelas pun bisa dihasilkan meski berada di balik mistar.

Seperti tas tangan buatan anggota Lapas Kelas II B Mojokerto ini. Dari tangan para napi inilah, tas-tas berkualitas dengan fashion modern bisa diproduksi dan mampu bersaing di pasaran.

Suara gemuruh mesin jahit memenuhi hall ruangan berukuran 6 X 12 meter persegi itu. Beberapa pria tampak sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang menggambar dan memotong pola, ada yang merangkai kulit yang akan dijahit menjadi tas cantik.

Ya, begitulah rutinitas 6 napi narkoba yang tinggal di Lapas Kelas II B Mojokerto. Setiap harinya, mulai pukul 09.00 – 15.00 WIB, tangan-tangan terampil mereka memproduksi tote bag yang belakangan ini menjadi tren berbagai kalangan.

“Produksinya bisa sampai 10 pcs sehari, tidak terlalu banyak karena produksinya dilakukan dengan tangan, bukan dengan mesin,” ujar Muhammad Ariffudin, salah seorang warga saat merakit pola tas tangan, Rabu (9/3/2023). .

Ada beragam desain dan model tas tangan yang diproduksi para napi ini. Remaja berusia 29 tahun ini menuturkan, mereka memproduksi sesuai pesanan pelanggan yang memesan melalui Lapas Kelas II B Mojokerto.

“Saat ini kami sedang memesan 150 tas dengan bahan kulit bertekstur orange. Desainnya sudah dari sana, jadi tinggal bikin saja,” kata napi yang terlibat kasus narkoba ini.

Menurut Arif, tas tangan yang dibuat bersama lima rekannya itu berkualitas tinggi. Sebab, dalam proses pembuatan lapas ini selalu mengutamakan kualitas, sehingga sebelum dikirim ke pembeli selalu dicek terlebih dahulu.

“Selalu dicek, karena ini handmade, jadi kita cek satu per satu apakah jahitannya rapi atau tidak, lalu resleting lancar saat dibuka tutup,” kata Arif.

Bukan kaleng-kaleng, napi ini sebelumnya sudah mendapat pelatihan dari penjara. Meski, dunia menjahit bukanlah awan bagi mereka. Pasalnya, sebelum menjadi penghuni hotel gratis, napi ini bekerja sebagai tukang sepatu di rumah.

“Dulu kami bisa menjahit sepatu, sandal, dan tas dari luar. Kemudian, kami juga diberi pelatihan selama tiga bulan selama di sini,” kata Arif.

Arif juga menuturkan, awalnya mengaku sempat turun saat ditangkap polisi dan dijebloskan ke Lapas Kelas II B Mojokerto. Akibatnya, ia ditangkap dalam kasus narkoba dan harus menjalani hukuman penjara 7 tahun 3 bulan.

Namun, di tengah kegalauan tersebut, ia kemudian memilih untuk bangun ketika mendapat informasi bahwa ada pelatihan pembuatan sepatu dan tas dari penjara tersebut. Pemuda ini akhirnya mendaftarkan diri dan mengikuti pelatihan selama 3 bulan tersebut.

“Alhamdulillah saya masih diberi kesempatan disini, akhirnya saya bisa membuat produk tas ini bersama teman-teman saya. Lumayanlah walaupun di sini (penjara) saya tetap bisa produktif,” ujar Arif yang sudah mengabdi selama ini. dua tahun. di penjara.

Harga tas produksi warga binaan, lanjut Arif, cukup bervariasi, mulai dari Rp 200.000 hingga Rp 300.000. Tergantung bahan kulit dan kanvas yang digunakan serta tingkat kerumitan desain sesuai pesanan pemesan.

“Tergantung modelnya, semakin rumit desain polanya, otomatis harganya akan naik. Jenis bahan yang sama juga mempengaruhi harga jualnya,” ujarnya.

Arif juga seperti kelima rekannya, mereka memiliki keinginan mendapatkan keringanan hukuman dan keluar dari Lapas Kelas II B di Mojokerto. Harapannya, ke depan para napi ini bisa membuka usaha tas sendiri.

“Bisnis sendiri bisa, kalau bisa punya home industri tas, sandal, sepatu seperti itu,” kata Arif.

Produktivitas napi ini belum tentu tanpa kompensasi. Pasalnya, Lapas Kelas II B Mojokerto justru membagi hasil penjualan produk dengan para napi. Jumlahnya cukup lumayan, mencapai 35% dari laba bersih penjualan.

“Mereka mendapatkan 35% dari pendapatan bersih dari penjualan produk. Ini bisa menjadi motivasi mereka untuk tetap percaya diri dalam bekerja, atau berbisnis nanti ketika mereka bebas,” kata Kepala Subsidi Kegiatan Kerja, Didik Harianto.

Didik mengatakan, narapidana yang aktif di bengkel Lapas Kelas II B di Mojokerto adalah narapidana yang sudah mendapatkan pelatihan. Ia pun mengaku bangga karena napi ini bisa bangun meski di dalam penjara.

“Mudah-mudahan mereka bisa terus bangun dan bekerja. Sedangkan untuk pengawal kami, jadi meski bebas bergerak, kami tetap melakukan pemeriksaan saat mereka keluar masuk sel,” kata Didik.

Kontributor: Zen Arivin