Pahami.id – Kasus bunuh diri akhir-akhir ini sering terjadi di Malang, Jawa Timur (Jatim). Korbannya sebagian besar berlatar belakang generasi Z. Beberapa korban disebabkan oleh penyakit mental yang dialami oleh korban.
Terbaru, mahasiswa Universitas Brawijaya (UB), LS (24), bunuh diri dengan melompat dari lantai 12 Fakultas Ilmu Komputer (Filkom) UB. Pihak kampus menanyakan status LS yang merupakan warga Karangploso, Kabupaten Malang.
Menurut Kapolsek Lowokwaru AKP Anton Widodo, ternyata LS bukan lagi mahasiswa UB. LS tercatat pernah menempuh pendidikan di Fakultas Matematika dan Sains (FMIPA) angkatan 2018, namun mengundurkan diri pada tahun 2019.
Senada dengan itu, Psikolog Universitas Negeri Malang (UM), Dr. Nur Eva, M.Psi menyoroti penyebab korban bunuh diri.
Menurut dosen Psikologi UM ini, kemampuan mengelola stres dan menjalani pola hidup sehat semakin menurun setiap generasinya. Penelitian American Psychological Association (2018) membenarkan temuan tersebut.
Dalam komentarnya, Nur Eva kemudian menyinggung generasi strawberry yang dikaitkan dengan karakter Gen Z yang tidak memiliki batasan dengan individu lain sehingga menyebabkan mereka mudah labil akibat paparan informasi dan kondisi yang berubah dengan cepat dan serba acak.
Fenomena tersebut melahirkan istilah generasi stroberi, yaitu generasi lunak yang dianggap rapuh dan mudah hancur seperti stroberi, padahal stroberi terlihat menarik dan terlihat cantik, ujarnya seperti dikutip dari Beritajatim.com–jaringan Pahami.idSenin (18/12).
Lebih lanjut, Nur Eva kemudian menyoroti ciri-ciri Gen Z yang sangat bergantung pada teknologi, khususnya media sosial.
“Hal yang paling menonjol dari Gen Z adalah mampu memanfaatkan perubahan teknologi di berbagai aspek kehidupannya. “Teknologi yang mereka gunakan sama naturalnya dengan pernafasan,” jelasnya.
“Resesi ekonomi, transformasi digital, invasi di beberapa negara, bencana alam, dan wabah penyakit. “Hal ini yang kemudian menyebabkan di masa dewasa, Gen Z menjadi kurang toleran terhadap ambiguitas lingkungan akibat masa kanak-kanak yang terlalu terlindungi,” imbuhnya.
Penggunaan media sosial yang berlebihan, kata Nur Eva, bisa menjadi pemicu gangguan jiwa pada penggunanya, khususnya Gen Z.
Hal ini disebabkan oleh masifnya paparan media sosial dan pola asuh orang tua yang terlalu protektif. Rata-rata penggunaan media sosial hanya 30 menit per hari.
“Penggunaan lebih dari 30 menit akan memberikan dampak negatif karena media sosial memiliki logika yang berbeda dengan kenyataan hidup,” jelasnya.
Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, meski terkadang masyarakat sering mengabaikan dan memprioritaskan pemeriksaan kesehatan mental. Pemeriksaan kesehatan jiwa memerlukan observasi dan wawancara langsung. Ini tidak bisa digantikan oleh aplikasi.
“Penggunaan aplikasi hanya sekedar instrumen untuk mendapatkan data awal. Informasi di media sosial memerlukan verifikasi profesional. “Sekali lagi, jangan mendiagnosis sendiri gangguan fisik dan psikis yang kita alami,” ujarnya.