Banyuwangi Setelah 3 Hari Terendam Banjir, Sampah dan Alih Fungsi Lahan Kian Memperparah – Berita Jatim

by
Dua Hari Warga Banyuwangi Berjibaku Diterjang Banjir, Rumah Dua Lantai Sampai Ambruk

Pahami.id – Warga Banyuwangi yang bermukim di bantaran Sungai Kalilo harus menderita akibat rumahnya kebanjiran selama tiga hari berturut-turut, Jumat hingga Minggu (10-12/02/2023).

Ketinggian banjir bervariasi, mulai dari 70 sentimeter hingga lebih dari 1 meter. Banjir ini terjadi setelah hujan mengguyur daerah tersebut selama beberapa hari selama beberapa hari terakhir. Intensitas hujan menyebabkan debit air sungai meningkat.

Di sisi lain, kondisi sungai sudah tidak normal lagi. Menurut General Manager Ijen Geopark Banyuwangi, Abdillah Baraas, banjir merupakan siklus alam. Itu tidak bisa dihindari.

Di alam, siklus terjadi selama puluhan hingga ratusan tahun. Namun peran manusia mempercepat siklus tersebut. Seperti di Banyuwangi, siklusnya kini semakin pendek. Dalam setahun, banjir bisa terjadi hingga dua kali.

Menurut Abdillah, sungai sebagai saluran air pasti mengalami lumpur. Air yang mengalir dari gunung pasti membawa material sehingga menjadi dangkal secara alami. Air bah datang untuk menormalkan sungai yang dangkal agar kembali dalam.

“Sedimen berserakan di bantaran yang berimplikasi menyuburkan tanah. Ujung-ujungnya banyak pohon tinggi yang sekarang jadi rumah,” ujarnya seperti dikutip dari suarajatimpost.com, jaringan media suara.com.

Namun, kelalaian manusia mempercepat siklus tersebut. Seperti alih fungsi lahan, pembuangan sampah dan pembangunan gedung-gedung berskala besar di daerah resapan air yang tidak memperhatikan konsep arsitektur konservatif.

Abdillah menambahkan, Banyuwangi memiliki topografi wilayah yang kompleks. Memiliki deretan pegunungan di sebelah barat dan laut di sebelah timur.

Berdasarkan letaknya, salah satu titik banjir terparah di Kota Banyuwangi adalah di tepian Sungai Kalilo. Sungai adalah salah satu cara air mengalir dari gunung ke laut.

Persoalannya, kata Abdillah, di titik hulu terjadi perombakan besar-besaran di kawasan tersebut. Hal ini terlihat di kawasan Gantasan (lereng Ijen), lereng Gunung Ranti, dan lereng Gunung Merapi.

Di daerah itu tanaman tinggi dan bertekstur keras digantikan oleh tanaman semusim. Padahal, kata dia, akar pohon yang tinggi dan bertekstur keras berperan besar menjaga kekuatan tanah.

Sedangkan daunnya berfungsi sebagai kanopi. Memecah butiran air hujan menjadi partikel yang lebih kecil. Kemudian memperlancar laju penyerapan air ke dalam tanah.

Selain itu, pembangunan gedung berskala besar menjadi penyebabnya. Sebagai kawasan wisata, Banyuwangi tentunya menjadi hot spot bagi para investor. Pasalnya, kawasan ini memiliki lokasi yang strategis untuk pengembangan usaha di bidang industri pariwisata.

Apalagi, wisata berbasis semi alam kini menjadi tren yang paling banyak diminati. Bicara soal wisata alam Banyuwangi memang gudangnya. Bahkan kini kafe, restoran atau penginapan yang menjual pemandangan alam menjamur di Bumi Blambangan.

“Terbukti banyak kafe, resto dan homestay yang membangun bangunan di bantaran sungai dan di lereng yang curam. Hal ini terlihat di daerah Licin, Glagah, Kemiren yang kebetulan dekat dengan sungai,” ujarnya. dikatakan.

Menjadi daya tarik yang menguntungkan memang benar, tapi disitulah letak masalahnya. Pengabaian terhadap lingkungan dalam perencanaan pembangunan justru berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup masyarakat.

Yang harus dipikirkan, lanjut Abdillah, adalah menghadirkan konsep Arsitektur Konservasi. Artinya memperhatikan kondisi alam dan lingkungan dengan tidak mengubah bentang alam.

“Bangunan boleh, tapi perhatikan hubungannya dengan alam. Misalnya dibuat dengan konsep uumpak agar ada resapan air. Sebagian bangunan digunakan 70 persen sedangkan 30 persennya adalah catchment area. Menjaga bentuk aslinya dan tidak mengubahnya secara ekstrim,” ujarnya.

Selanjutnya dengan kembali pada gerakan agroforestri secara besar-besaran. Caranya dengan mengedukasi masyarakat dan mengajak mereka menanam kembali tanaman pertanian di pekarangan belakang.

“Pohon kopi, durian, manggis atau buah-buahan yang sifatnya bisa dijadikan tajuk. Buahnya juga bisa dinikmati dan manfaatnya bisa meminimalisir resiko bencana,” ujarnya.