Sejarah Peristiwa Karbala Pada Masa Kekhalifahan Islam – Sejarah Agama

by

Peristiwa Karbala terjadi pada hari Jum’at 10 Muharram 61 H atau pada tanggal 9/10 Oktober 680 M. Peristiwa Karbala merupakan pertempuran antara 4-10 ribu tentara Bani Umayyah dengan 72-128 anggota keluarga keturunan Ali bin Abi Thalib yang berlangsung di Karbala, Irak. Ini adalah perang antara keturunan Nabi Muhammad SAW dengan khalifah yang dipimpin oleh keturunan Muawiyah bernama Yazid bin Muawiyah. Perang berakhir dengan gugurnya seluruh prajurit keluarga Ali kecuali Ali Zainal Abidin sehingga Bani Umayyah menjadi pemenangnya.

Muawiyah adalah salah satu sepupu Utsman bin Affan yang paling berpengaruh dan kuat pada masa pemerintahan Khalifah Utsman, sehingga ia ingin membalas dendam atas pembunuhan Khalifah Utsman. Saat itu, Ali bin Abi Thalib tidak setuju memberikan hukuman kepada pembunuh Utsman yang terlalu cepat karena suasana masih ricuh dan panas. Hal ini berujung pada konflik antara Muawiyah dan Ali, sekaligus menjadi bibit konflik mengenai kewibawaan khalifah dalam sejarah peristiwa Karbala.

Deklarasi Khalifah Muawiyah Unilateral

Sejarah peristiwa Karbala dimulai sebelum pertempuran. Setelah Ali bin Abi Thalib wafat, kekhalifahan dilanjutkan oleh Hasan bin Ali. Namun Muawiyah mengumumkan secara sepihak bahwa dia adalah khalifah mutlak untuk memimpin seluruh umat Islam. Padahal saat itu umat Islam khususnya Irak lebih mempercayai Hasan sebagai pemimpin. Hasan ingin mengakhiri dualisme kekuasaan dengan membuat kesepakatan dengan Muawiyah, yang berisi:

  • Hasan menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah dengan syarat Muawiyah harus memerintah berdasarkan Alquran, Hadits dan Sunnah Nabi.
  • Hasan akan menjadi khalifah setelah Muawiyah. Dan jika sesuatu terjadi pada Hasan, maka kepemimpinan akan diambil alih oleh Husein.
  • Muawiyah tidak diperbolehkan mengajukan tuntutan apa pun terhadap penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak.
  • Gubernur provinsi yang ditunjuk oleh Muawiyah tidak diizinkan untuk mencaci dan mengutuk Amirul Mukminin dari mimbar, juga tidak diperbolehkan untuk berbohong dengan mulut kotor, juga tidak diperbolehkan untuk mengutuk Ali ketika Qunut sedang berdoa.
  • Muawiyah harus menjamin keselamatan dan keamanan setiap orang dimanapun mereka berada.
  • Hak menguasai Baitul Mal di Kufah ada pada Hasan dan Muawiyah tidak berhak ikut dalam pemerintahan itu.
  • Muawiyah, Hasan dan para pengikutnya tidak boleh melakukan perbuatan keji. Muawiyah juga tidak diperbolehkan mengumpulkan harta untuk dirinya sendiri.

Kedua belah pihak kemudian menyetujui perjanjian tersebut, tetapi karena Muawiyah tidak dapat dipercaya, hal itu tidak memberikan hasil yang diharapkan. Janji Muawiyah yang ingkar terbukti ketika Hasan meninggal karena diracun, ia malah menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya sendiri, Yazid bin Muawiyah secara sepihak alih-alih mengangkat Husein sebagai pemimpin. Yazid menjadi khalifah tanpa pengakuan umat Islam. Segera setelah itu, Muawiyah jatuh sakit parah dan membuat surat wasiat kepada Yazid, menyatakan bahwa akan ada beberapa orang yang menolak inisiasinya menjadi kekhalifahan resmi. Orang-orang ini adalah:

  • Abdur Rahman bin Abu Bakar yang konon mudah berubah pikiran dengan kekayaan.
  • Abdullah bin Umar yang tidak mau terlibat dalam urusan kekhalifahan yang menurutnya bersifat duniawi.
  • Abdullah bin Zubayr dan Abdullah bin Abbas yang menurut Muawiyah akan menentang Yazid sebagai khalifah.
  • Imam Husein bin Ali yang akan menjadi lawan utama karena merupakan satu-satunya anggota keluarga Nabi Muhammad SAW yang masih hidup. Pelajari juga penyebab perang Badr Kubra, sejarah berdirinya Islam, sejarah Ka’bah dan sejarah perjanjian Aqabah.

Perang dan Kematian Imam Husein

Setelah Muawiyah meninggal, Yazid kemudian menginstruksikan Walid bin Utbah, Gubernur Madinah untuk meminta kesetiaan Hussein kepadanya, yang tentu saja ditolak. Di sisi lain, setelah kematian Hasan, Hussein mulai menghimpun pengikutnya ke dalam kelompok agama yang memiliki muatan politik yang kuat dan menentang rezim Bani Umayyah. Hal ini membuat Yazid merasa cemas karena takut rezimnya akan digulingkan. Karena tidak mau dipaksa oleh Walid, Husein pergi ke Mekkah selama enam bulan. Selama di sana, ia menerima banyak surat dari Kufah yang memintanya menjadi imam karena di Kufah tidak ada imam.

Imam Hussein kemudian mengutus keponakannya Muslim bin Aqil ke Kufah untuk memastikan kebenaran permintaan tersebut. Umat ​​Islam diterima dengan baik di Kufah dan hampir semua penduduk berbai’at kepada Imam Husein melalui beliau, kemudian beliau mengirimkan surat yang menyatakan bahwa keadaan disana aman. Namun, kedatangan gubernur baru, Ubaydullah bin Ziyad, mengubah segalanya. Muslim dan teman-temannya dibunuh tanpa ada keberatan dari penduduk Kufah.

Yazid juga mengancam akan membunuh Imam Hussein melalui Amr bin Sa’ad bin al’Ash. Namun, dia sudah meninggalkan Mekkah sehingga rencana pembunuhan itu gagal. Ibnu Abbas dan Ibnu Zubayr meminta Imam Husain untuk tidak pergi ke Kufah karena rencana Yazid, namun ia tetap bersikukuh. Di tengah jalan, berita bahwa Muslim terbunuh baru saja tiba. Namun, ia tetap menuju Kufah hingga rombongan Imam Husain tiba di Karbala pada 2 Muharram 61 H dan dihadang oleh 1000 tentara Bani Umayyah di bawah pimpinan Hurr bin Yazid.

Pada pagi hari tanggal 10 Muharram setelah sholat Subuh, pasukan kecil Imam Husein dibagi menjadi tiga bagian untuk memulai sejarah peristiwa Karbala. Pasukan di kanan dipimpin oleh Zuhayr bin Qayn dan di kiri oleh Habib bin Muzahir, tengah dipimpin oleh Abbas bin Ali bersama Imam Husein. Sementara itu, Imam Husain masih sempat berceramah dan meminta pasukan Bani Umayyah untuk kembali ke jalan Allah dan Rasul hingga Hurr Ibnu Yazid dan beberapa orang lainnya bergabung dengan pasukan Iman Husein.

Perang dalam sejarah Karbala terus berlangsung hingga malam hingga tinggal Imam Husein yang tersisa melawan ribuan tentara Bani Umayyah. Ia terus berjuang tanpa lelah meski sendirian dengan menyebut nama Allah SWT. Pasukan Bani Umayyah yang tidak berani mendekat akhirnya menghujaninya dengan anak panah. Meski terluka parah, ia tetap bertahan hingga akhirnya Syamar dzil Jausan menyemangati teman-temannya untuk terus menyerangnya. Hingga akhirnya panah beracun menembus jantungnya dan membunuh Imam Husein. Kepala Husain kemudian dipenggal. Pelajari juga sejarah Istana al Hamra, sejarah perang Ain Jalut dan sejarah kerajaan Champa.

Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, Islam berkembang menjadi agama terbesar di dunia. Para penguasa yang berasal dari Dinasti Bani Umayyah ini memiliki keahlian dalam mengatur pemerintahan negara dan juga naluri menaklukkan lawan di medan perang yang sangat baik sejak pencanangan kekuasaan oleh Muawiyah di Damaskus. Pada awal pemerintahannya, pemerintahan Bani Umayyah menimbulkan berbagai kontroversi di kalangan umat Islam. Namun, keberhasilan mereka dalam memimpin membawa Islam ke puncak kejayaannya.

Dengan sistem patrimonialisme yang dipraktikkan Bani Umayyah, pemimpin menganggap negara adalah miliknya dan dapat diwariskan secara turun-temurun sedangkan rakyat adalah bawahan yang berada di bawah naungan pemimpin. Meski demikian, sejarah peristiwa Karbala tidak bisa dilupakan sebagai salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah Islam dan yang menyebabkan Islam terpecah setelah itu.