Sejarah Peristiwa Bubat Pada Zaman Majapahit – Sejarah Indonesia

by

Peristiwa Perang Bubat atau Bubat terjadi pada abad ke-14 pada tahun 1279 Saka atau 1357 M. Peristiwa ini terjadi dalam sejarah kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Perang tersebut terjadi akibat perselisihan antara Mahapatih Majapahit yang terkenal, Gajah Mada dan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda. Lokasi pertempuran yang memakan korban seluruh rombongan Sunda itu berada di Wisma Bubat yang kini menjadi Provinsi Jawa Timur.

Prabu Hayam Wuruk saat itu berniat mempersunting putri Prabu Linggabuana, Dyah Pitaloka Citraresmi. Untuk tujuan pernikahan, atas kehendak baik Raja Linggabuana, Kerajaan Pajajaran melakukan perjalanan ke Majapahit. Namun di tengah perjalanan rombongan mereka dihentikan oleh Gajah Mada yang menginginkan mereka datang sebagai penyerahan diri ke Majapahit. Karena tuntutan Gajah Mada ditolak oleh rombongan Sunda, pertempuran pun tak terelakkan. Peristiwa Bubat kini menjadi bagian dari peninggalan sejarah Majapahit yang juga dapat membantu mengungkap asal-usul Nusantara.

Kelalaian Gajah Mada

Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang terkenal sebelum Hayam Wuruk naik tahta sebagai Raja Majapahit. Sumpah itulah yang melatarbelakangi tindakan dan keputusan Gajah Mada. Hanya kerajaan Sunda dari semua kerajaan yang pernah dikuasai Majapahit belum ditaklukkan. Maka Gajah Mada meyakinkan Hayam Wuruk untuk menganggap kedatangan rombongan Sunda sebagai bentuk penyerahan diri kepada Majapahit. Cara untuk mencapai penaklukan tersebut adalah dengan memanfaatkan kedatangan rombongan Kerajaan Sunda sehingga memaksa Kerajaan Sunda untuk menyerah ketika mereka datang untuk menikahi putri mereka. Hayam Wuruk terdesak untuk menerima Dyah Pitaloka sebagai tanda penyerahan kerajaan Sunda dan melihatnya sebagai pengakuan atas kekuasaan Majapahit atas Sunda.

Prabu Linggabuana dan rombongannya yang mengira masih ada ikatan persaudaraan antara kedua kerajaan akhirnya sepakat memboyong puteri mereka untuk dinikahkan di Majapahit. Rombongan Sunda diterima di Wisma Bubat yang sudah menjadi wilayah kekuasaan Majapahit. Kelompok yang mengira akan pergi ke pesta pernikahan hanya membawa beberapa tentara sebagai pengawal. Gajah Mada kemudian menyampaikan keinginannya, menyebabkan utusan Linggabuana menolak, terkejut dan marah. Di tempat lain, Hayam Wuruk masih belum sepenuhnya yakin dengan taktik ini. Gajah Mada telah mengerahkan pasukannya ke Bubat sebelum Hayam Wuruk memberikan keputusan, dan mengancam Linggabuana untuk mengakui kekuasaan Majapahit. Lingga Buana menolak dan akibatnya terjadi pertempuran yang tidak seimbang karena pasukan Lingga Buana sedikit jumlahnya, hanya terdiri dari pengawal kerajaan, pembesar dan menteri.

Raja Sunda dan para pengikutnya tewas dalam peristiwa Bubat karena kalah jumlah. Putri Dyah Pitaloka melakukan pencak silat yang merupakan tindakan bunuh diri untuk membela kehormatan bangsanya yang dilakukan menurut tradisi. Tindakan ini sejalan dengan moral dan nilai-nilai yang dianut oleh orang-orang dari kasta ksatria. Wanita dari kasta ksatria akan bunuh diri jika laki-laki mereka mati untuk membela kehormatan mereka dan melindungi kesucian mereka, menghindari kemungkinan penghinaan, pemerkosaan, pelecehan, atau risiko diperbudak.

Situasi Pasca Perang

Meninggalnya seluruh anggota rombongan kerajaan dalam peristiwa Bubat menyisakan duka yang mendalam bagi masyarakat Sunda, hingga akibat perang Bubat, perkawinan dengan orang Jawa dilarang. Mitos ini masih ada sampai sekarang dan diyakini oleh sebagian kecil masyarakat terutama di daerah terpencil. Konon perkawinan antara suku Sunda dan Jawa tidak akan rukun jika dilaksanakan. Raja Linggabuana digantikan oleh Pangeran Niskalawastu Kancana, adik dari Dyah Pitaloka yang tinggal di keraton Kawali. Para pangeran yang tidak pergi ke Majapahit mengeluarkan larangan istri yang isinya berupa aturan untuk tidak menikah dengan orang luar dari kerabat Sunda, terutama pihak Majapahit.

Tokoh Gajah Mada dan Hayam Wuruk sangat tidak disukai masyarakat Sunda, sehingga tidak ada nama jalan di daerah Sunda yang didasarkan pada nama kedua tokoh tersebut. Sebaliknya, di wilayah bekas kerajaan Majapahit, tidak ada jalan Siliwangi atau Pajajaran. Kegagalan Majapahit menaklukkan Pajajaran juga mengakibatkan gagalnya sumpah palapa Gajah Mada. Orang Sunda memusuhi Majapahit dan tidak mau bekerja sama dengan orang Jawa karena mitos kuno yang beredar. Raja Linggabuana menjadi pemimpin yang disegani masyarakat Sunda dan diberi julukan Raja Wangi karena keberaniannya melawan pasukan Majapahit dan menolak dominasi Majapahit. Pangeran Linggabuana yang tidak datang bersama rombongan dimuliakan sebagai raja bergelar Prabu Siliwangi yang berarti keturunan raja yang namanya harum. Gelar ini kemudian digunakan untuk semua raja berikutnya. Prabu Siliwangi kemudian tercatat sebagai salah satu raja paling terkenal dalam sejarah Indonesia dan sejarah kerajaan Pajajaran.

Hubungan Gajah Mada dengan Hayam Wuruk menjadi renggang karena Dyah Pitaloka juga menjadi korban dan Hayam Wuruk patah hati. Para bangsawan dan bangsawan Majapahit memarahi Gajah Mada karena tindakannya yang sembrono, terlalu sombong dan melampaui batas rajanya. Sejak saat itu posisi Gajah Mada mulai merosot di mata Hayam Wuruk. Gajah Mada diberikan tanah di Madakaripura (Probolinggo) sebagai saran halus untuk mulai mempertimbangkan pensiun. Posisi tanah yang jauh dari ibukota Majapahit membuat Gajah Mada mundur dari politik Majapahit. Dapat disimpulkan bahwa Hayam Wuruk tidak lagi terlalu mempercayai Gajah Mada dan tidak bergantung padanya seperti sebelum pertempuran.

Hayam Wuruk lebih banyak terlibat dalam pemerintahan dan sejak itu mencoba mengambil keputusan sendiri dengan membentuk sistem pemerintahan baru yang memungkinkan pemerintah untuk aktif secara langsung. Ia meminta pertimbangan dari keluarga dan pejabat senior sebelum mengambil keputusan penting dan juga melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk mengetahui kondisi rakyatnya. Masyarakat terkesan dengan sistem pemerintahan Hayam Wuruk yang lebih terbuka, dan meski Gajah Mada tetap menjabat sebagai mahapatih, namun kekuasaannya tak lagi sebesar dulu. Hubungan diplomatik kedua negara diputus oleh Prabu Siliwangi, penerus Raja Linggabuana. Hubungan kedua negara juga tidak pernah pulih sejak peristiwa Bubat selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad kemudian.

Guna menghilangkan mitos simpang siur antara dua etnis Jawa dan Sunda serta menghindari perpecahan negara, pemerintah mengambil langkah nyata dengan meresmikan nama jalan di kawasan Jalan Lingkaran Yogyakarta pada 3 Oktober 2017. , Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan Gubernur Jawa Timur. Di lokasi jalan yang mengelilingi Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut terdapat nama Jalan Siliwangi, Jalan Pajajaran, Jalan Majapahit dan Jalan Brawijaya. Dengan peresmian nama jalan tersebut diharapkan dapat mematahkan mitos tentang hubungan masyarakat Jawa dan Sunda dari peristiwa Bubat dan perlahan-lahan melepaskan diri dari mitos perang Bubat dahulu kala. Ketahui juga sejarah Candi Jiwa dan sejarah alat musik angklung.