Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda – Sejarah Indonesia

by

Perang Aceh merupakan salah satu dari sekian banyak perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan Belanda yang terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka. Perang Aceh yang terjadi pada tahun 1873 – 1904 merupakan perang antara Kesultanan Aceh melawan Belanda.

Deklarasi perang Belanda terhadap Aceh terjadi pada tanggal 26 Maret 1873 dan mulai menembakkan meriam dari kapal perang Citadel van Antwerpen ke daratan Aceh. Sejarah perang di Aceh merupakan perang terpanjang dan terbesar yang pernah dilakukan oleh bangsa Indonesia.

Bahkan setelah Kesultanan Aceh menyerah pada tahun 1904, perlawanan acak dan gerilya masih dilakukan oleh rakyat Aceh sehingga total waktu perang sebenarnya memakan waktu 69 tahun dari tahun 1873 – 1942.

Disebutkan dalam sejarah perang Aceh hingga 100 ribu orang tewas di kedua belah pihak sejak penyerbuan Belanda ke Pantai Ceureumen pada April 1873.

Dalam penyerbuan yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Kohler yang langsung menguasai Masjid Raya Baiturrahman itu, disebutkan sekitar 37.500 orang Belanda tewas, 70.000 orang Aceh tewas dan 500.000 orang luka-luka.

Perjanjian Belanda dan Inggris

Pada tahun 1824 Belanda dan Britania Raya menyepakati Traktat London tentang batas-batas kekuasaan di Asia Tenggara mengacu pada garis lintang Singapura. Kedua negara mengakui kedaulatan Aceh dalam perjanjian tersebut.

Namun, pada tahun 1858 Sultan Ismail menyerahkan provinsi Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda. Padahal semua daerah tersebut sudah menjadi provinsi Aceh sejak Sultan Iskandar Muda berkuasa.

Aceh kemudian menuduh Belanda tidak menepati janji dan menenggelamkan kapal-kapal Belanda yang melewati wilayah perairan Aceh. Perairan Aceh menjadi sangat penting bagi lalu lintas perdagangan sejak dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps.

Kemudian perjanjian London tahun 1871 kembali disepakati antara Inggris dan Belanda. Isi perjanjian tersebut menyatakan bahwa Inggris tidak berkeberatan atas tindakan Belanda memperluas kekuasaannya di Sumatera dan membatalkan perjanjian 1824.

Belanda harus mengamankan lalu lintas di Selat Malaka, dan mengizinkan Inggris berdagang bebas di Siak, serta menyerahkan wilayah Guyana Barat kepada Inggris. Aceh kemudian menjalin hubungan diplomatik dengan konsul Amerika Serikat, Pemerintah Italia, dan Kesultanan Utsmaniyah di Singapura, serta mengirimkan utusan ke Turki Utsmani pada tahun 1871.

Kegiatan diplomasi Aceh justru dijadikan alasan Belanda menyerang Aceh. Meski Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen datang ke Aceh dengan membawa dua kapal perang, Sultan Mahmud Syah menolak menghentikan upaya diplomasinya, sehingga memicu deklarasi perang yang akhirnya menjadi penyebab perang Aceh dari Nieuwenhuijzen.

Perang Aceh terjadi

Perang Aceh berlangsung dalam beberapa fase sepanjang dekade sebagai berikut:

  • Perang Aceh Pertama (1873 – 1874)

Perang ini dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah, melawan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Kohler. Mereka mampu mengalahkan Kohler dan 3000 tentaranya, bahkan Kohler terbunuh pada tanggal 14 April 1873. Perang kemudian berkecamuk dimana-mana sepuluh hari kemudian.

Perang terbesar terjadi untuk merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman dengan bantuan beberapa pasukan dari Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan Bada, Lambada, Krueng Raya. Tentara Belanda kemudian dipimpin oleh Mayor Jenderal Van Swieten.

  • Perang Aceh Kedua (1874 – 1880)

Sejarah perang di Aceh memasuki babak kedua dimana Belanda di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten berhasil menduduki Kraton Yogyakarta pada tanggal 26 Januari 1874. dan keluarganya telah melarikan diri ke Lheungbata.

KNIL mengumumkan perang kedua pada tanggal 20 November 1873 setelah kegagalan perang pertama. Belanda saat itu berusaha menguasai seluruh Indonesia, bergerak pada bulan November 1873 – April 1874. Pada bulan Januari 1874 Belanda mengira telah memenangkan perang dan mengumumkan pembubaran Kesultanan Aceh.

Namun rakyat Aceh tetap melakukan perlawanan, meski Sultan Mahmud Syah dan para pengikutnya telah mengungsi ke perbukitan dan Sultan meninggal karena kolera pada tanggal 26 Januari 1874. Para ulama Aceh membentuk pasukan Jihad yang dipimpin oleh Teuku Cik Di Tiro, sedangkan rakyat membentuk sebuah kekuatan. pasukan besar di bawah pimpinan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien.

Ketiganya kemudian diangkat sebagai pahlawan nasional dari Aceh. Tuanku Muhammad Daud Syah yang masih muda kemudian dikenal sebagai Sultan Ibrahim Mansyur Syah (1874 – 1903) dalam sejarah Kesultanan Aceh Darussalam.

Perang Aceh Ketiga (1881 – 1899)

Dalam sejarah perang Aceh III, perang berlanjut dalam bentuk perang gerilya berupa fisabilillah. Perang gerilya berlangsung hingga tahun 1903 dipimpin oleh Teuku Umar, Panglima Polim dan Sultan Aceh. Teuku Umar terus memimpin penyerangan terhadap posisi Belanda hingga mampu menguasai Meulaboh pada tahun 1882.

Belanda bahkan menggunakan pasukan khusus yang disebut Korps Marechaussee te Voet, tentara kerajaan Hindia Belanda. Mereka bukanlah tentara asli Belanda, melainkan tentara bayaran Indonesia dari Jawa dan Maluku yang telah dilatih oleh Belanda.

Invasi berlanjut di wilayah Belanda. Pada tahun 1899 pasukan Aceh tiba-tiba diserang oleh Van der Dussen di Meulaboh dan Teuku Umar meninggal dunia. Cut Nyak Dhien kemudian melanjutkan perjuangan sebagai panglima gerilya, seperti penyebab peristiwa Aceh 1990 dan bangunan bersejarah di Aceh.

Strategi Underhand Belanda

dr. Christiaan Snouck Hurgronje dikirim Belanda untuk menyusup ke masyarakat Aceh dan menyamar selama 2 tahun. Sebelum ini dia diharuskan belajar tentang Islam selama beberapa waktu agar dia bisa berbicara bahasa Arab dengan lancar. Dia menggunakan hasil pengamatannya untuk memberikan saran kepada tentara Belanda tentang cara mengalahkan Aceh.

Ia menyarankan kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz (1898 – 1904) agar Sultan dan pengikutnya yang berkedudukan di Keumala diabaikan dulu dan berkonsentrasi menyerang ulama.

Ia juga mengatakan tidak berunding dengan pimpinan gerilya, mendirikan basis di Aceh Besar, dan menunjukkan niat baik dengan membangun mushola, mesjid, memperbaiki sistem irigasi, dan membantu kerja sosial masyarakat Aceh. Usulan ini diterima oleh Van Heutz yang menunjuk Snouck sebagai penasehatnya.

Van Heutz meniru taktik perang gerilya rakyat Aceh dan pasukan Marechaussee pimpinan Hans Christoffel hingga menguasai pegunungan dan hutan Aceh sambil mencari gerilyawan Aceh. Selanjutnya, Belanda menculik anggota keluarga pejuang Aceh, seperti penculikan Ratu Sultan dan Tengku Putroe pada tahun 1902.

Putra Sultan Tuanku Ibrahim ditangkap oleh Van der Maaten hingga Sultan menyerah pada 5 Januari 1902. Belanda juga menangkap putra Panglima Polim, Cut Po Radeu, dan beberapa kerabat terdekat Panglima Polim hingga menyerah pada Desember 1903 Setelah itu, banyak pemimpin rakyat yang ikut serta dalam penyerahan itu.

Taktik Belanda yang paling brutal dalam sejarah perang Aceh terjadi ketika rakyat Aceh dibunuh oleh Gotfried Coenraad Ernst van Daalen, penerus Van Heutz. Korban tewas di Kuta Reh sebanyak 2.922 orang dengan rincian 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.

Cut Nyak Dhien juga ditangkap dan diasingkan ke Sumedang. Van Heutz sebelumnya telah menyiapkan perjanjian singkat untuk ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang menyerah.

Dalam perjanjian tersebut, Sultan Aceh mengakui bahwa daerahnya adalah bagian dari Hindia Belanda, tidak akan menjalin hubungan dengan kekuatan lain di luar negeri, menuruti semua perintah Belanda. Sultan Muhammad Dawood Syah kemudian diasingkan ke Batavia dan wafat pada tanggal 6 Februari 1939, dimakamkan di Pemakaman Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Timur.

Menurut beberapa sumber, sejarah perang Aceh melawan Belanda berlangsung hingga tahun 1904, yakni hingga runtuhnya sejarah kerajaan Aceh. Meskipun demikian, berbagai perlawanan tetap dilakukan oleh masyarakat Aceh baik secara kelompok maupun perseorangan hingga Jepang tiba di Indonesia.