Berita Usai Gencatan Senjata, Otoritas Palestina Siap Kelola Gaza

by
Berita Usai Gencatan Senjata, Otoritas Palestina Siap Kelola Gaza


Jakarta, Pahami.id

Kekuatan Palestina (PA) menyatakan siap memainkan peran penting dalam pemerintahan Jalur Gaza Pasca gencatan senjata mulai berlaku pada Kamis (10/10), meski rencana aksi pemerintah pascaperang yang digagas Amerika Serikat tidak menempatkan lembaga tersebut sebagai aktor utama.

Perdana Menteri Palestina Mohammad Mustafa menegaskan, PA sudah lama hadir di Gaza melalui dukungan pemerintah dan aparatur sipil negara meski wilayah tersebut berada di bawah Hamas sejak 2007.


“Kita sudah sampai di sana. Ada perbedaan antara pengawasan internasional yang bersifat sementara dan sebenarnya mengendalikan serta menyelesaikan masalah di lapangan,” kata Mustafa, seperti dilansir Reuters (9/10).

Rencana gencatan senjata tersebut merupakan langkah awal inisiatif perdamaian yang diprakarsai oleh Presiden AS Donald Trump untuk mengakhiri dua tahun invasi brutal Israel di Gaza. Tingkat selanjutnya mencakup pembentukan pemerintahan transisi dan tekanan agar Hamas melepaskan kendali atas wilayah tersebut.

Trump mengusulkan untuk membentuk Komite Teknokratik Palestina yang akan memimpin Gaza di bawah pengawasan internasional. Namun, rencana tersebut memerlukan reformasi PA yang komprehensif sebelum diberikan mandat formal untuk memimpin.

PA, yang berbasis di Tepi Barat, secara terbuka menyambut baik upaya tersebut. Namun beberapa pejabat senior menyatakan kekecewaannya karena peran Otoritas Palestina tidak ditegaskan secara jelas dalam rencana tersebut.

Tiga pejabat senior Palestina mengatakan bahwa PA masih berharap dapat memainkan peran besar dalam Tata Kelola pasca Perang Gaza, dengan dukungan negara-negara Arab seperti Mesir, Yordania dan Qatar. Negara-negara yang sebelumnya mendukung usulan alternatif dari Arab Saudi dan Perancis akan menempatkan PA dalam kepemimpinan administratif selama masa transisi.

“Banyak negara Arab tahu bahwa PA adalah satu-satunya cara praktis untuk mengelola Gaza dan menyatukan kembali wilayah Palestina,” kata Mustafa.

PA telah menominasikan sekitar 5.500 staf yang akan dilatih sebagai bagian dari kepolisian Gaza yang baru. Dengan dukungan Mesir, target pelatihan mencapai 10.000 staf.

Rencana rekonstruksi dan tantangan keuangan

Mustafa mengatakan Konferensi Rekonstruksi Gaza dijadwalkan berlangsung sebulan setelah gencatan senjata. Bank Dunia memperkirakan biaya rekonstruksi sebesar US$80 miliar (RP 1,326 triliun), meningkat dari perkiraan sebelumnya sebesar US$53 miliar pada Oktober tahun lalu.

Angka tersebut empat kali lipat Produk Domestik Bruto (PDB) Tepi Barat dan Gaza pada tahun 2022.

Sementara itu, Israel menolak keterlibatan PA dalam pemerintahan Gaza. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menuduh PA menghasut kebencian terhadap Israel melalui kurikulum dan media pendidikannya.

Pemerintah AS dalam Rencana Perdamaian 2020 menyerukan pembentukan institusi yang korup dan mempromosikan budaya kekerasan. Otoritas Palestina telah menghapuskan undang-undang yang mengatur pembayaran kepada keluarga warga Palestina yang dibunuh atau ditahan oleh Israel, dan berjanji untuk memperbarui Kurikulum agar sesuai dengan standar PBB.

Namun, Presiden Abbas menolak mengakui Israel sebagai negara Yahudi, dengan mengatakan bahwa Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) telah mengakui Israel sejak tahun 1993, dan 21 persen penduduk Israel kini adalah orang Arab.

Mustafa menegaskan, PA telah mencapai kemajuan signifikan dalam reformasi kelembagaan, termasuk komitmen pemberantasan korupsi dan persiapan pemilu.

“Kami tidak ingin Israel menjadikan isu reformasi sebagai alasan untuk menghalangi negara-negara Palestina, Reintegrasi Gaza dan proses rekonstruksi,” ujarnya.

Sementara itu, Hamas telah memberikan sinyal positif atas keterlibatan PA, dan menyatakan kesediaannya untuk menyerahkan kekuasaan kepada Komite Teknokratis dengan mengacu pada PA, dan bukan di bawah pengawasan asing sepenuhnya.

Namun, beberapa analis percaya bahwa PA tidak akan memainkan peran dominan pada tahap awal perang. Koordinasi dengan negara-negara Arab dan Komite Teknokratik masih menjadi faktor kunci dalam menentukan masa depan pemerintahan Gaza.

(DMI/DMI)