Jakarta, Pahami.id —
Salah satu gereja tertua di Indonesia, Gereja Monumen yang terletak di Semper Barat, CilincingJakarta Utara, tetap menjaga tradisi budaya dalam rangkaian kegiatan Natal tahun ini.
Rektor Gereja Tugu George Letwory madah, Gereja Protestan di Indonesia Barat (GPIB) yang dibangun pada tahun 1676-1678, kini telah diperbaiki mempercantik diri menyambut jemaah pada kebaktian Natal dan Tahun Baru.
“Sekarang kita fokus ibadah. Ibadah Natal dengan ibadah Tahun Baru. Kita taruh bunga, bersihkan makam tanggal 24 besok. Besok kita pasang bunga, kita nyalakan lilin,” kata George di kawasan kompleks Gereja Tugu, Selasa (23/12).
Dari segi musik, George mengatakan Gereja Tugu masih memainkan keroncong. Dijelaskannya, musik keroncong sejak awal sudah menjadi salah satu bentuk ibadah yang tidak terpisahkan di Gereja Tugu karena keterbatasan alat musik saat itu. Hingga kemudian dikenal dengan nama Keroncong Tugu.
“Yang beda cuma yang saya bilang tadi, dulu suaranya keras banget. Karena nggak punya keyboard, musiknya jadi keras,” kata George.
Seiring berkembangnya zaman dan masuknya alat musik modern, pola pengiring ibadah di Gereja Tugu mulai beradaptasi. Meski begitu, dia menegaskan unsur keroncong tetap dipertahankan.
“Sekarang sudah ada pengiring, jadi kadang-kadang kita pakai akustik untuk ibadah pertama. Pukul 07.00 atau 10.00, atau ganti keroncong jam pertama, akustik jam kedua. Jadi itu karena waktunya sudah berubah,” kata George.
“Seperti dulu kalau kita ibadah di situ lebih akustik karena kebetulan saya salah satu pengiring musiknya juga kan. Jadi kadang kita bikin semi, kadang mungkin keroncong, dengan musik normal, bass, gitar, ada cajoon, tapi keroncongnya tetap ada,” sambung George.
Mengutip situs Pemerintah Kota Jakarta Utara, Gereja Tugu merupakan salah satu gereja tertua di Jakarta yang dibangun oleh komunitas keturunan Portugis pada abad ke-18.
Dibangun sekitar tahun 1676-1678, bertepatan dengan dibukanya sekolah negeri pertama di Indonesia oleh Pendeta Melchior Leydecker.
Gereja ini mulai direnovasi pada tahun 1737 di bawah pimpinan Pastor Van De Tydt yang dibantu oleh seorang pendeta keturunan Portugis, Ferreira d’Almeida dan Mardijkers. Gereja mengalami masa-masa sulit pada tahun 1740, bangunannya dihancurkan oleh pemberontakan.
Pada tahun 1744, gereja ini dibangun kembali atas bantuan pemilik tanah yang tinggal di Cilincing, Yustinus Vinck. Rekonstruksi gedung gereja baru selesai pada tanggal 29 Juli 1747 dan diresmikan setahun kemudian pada tanggal 27 Juli 1748 oleh pendeta JM Mohr. Gedung gereja ini diperuntukkan sebagai tempat ibadah masyarakat Tugu.
Mengapa disebut monumen? Kampung Tugu adalah sekelompok orang Betawi Portugis. Konon dulunya masyarakat Betawi kesulitan mengucapkan kata Portugis yang saat itu disebut Tugu. Oleh karena itu, gereja ini diberi nama Gereja Tugu yang awalnya digunakan untuk peribadahan Katolik kemudian beralih menjadi Protestan ketika Portugis ditaklukkan pada masa penjajahan Belanda.
Berbeda dengan tempat ibadah lainnya, gereja ini mempunyai tradisi yang unik. Pada saat Natal dan Tahun Baru, masyarakat mengadakan festival panen, tradisi Mandi-Mandi atau Rabo-Rabo yang disuguhkan dengan iringan musik keroncong yang merupakan warisan musik Portugis kuno bernama Fado. Pada setiap kebaktian, jemaah Gereja Tugu juga menyanyikan lagu-lagu pujian dengan diiringi musik keroncong khas Kampung Tugu yang bernuansa klasik dan modern, menjadikan gereja ini sangat menarik dan menjadi situs warisan budaya dan tempat wisata religi penuh sejarah.
Penasihat Ikatan Keluarga Besar Tugu (IKBT), Erni Michicis mengatakan, tradisi yang turun temurun dari masa ke masa di masyarakat Tugu seperti ritual Rabo-Rabo dan Mandi-Mandi akan terus dijalankan.
Mengutip situs Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, jika umat Islam di Betawi memiliki tradisi persaudaraan dan sesama umat Islam, maka umat Kristen di Kampung Tugu juga demikian.
Menjelang perayaan Natal tanggal 25 Desember, mereka menggelar tradisi Rabo-Rabo dengan penuh semangat. Istilah “Rabo” dalam bahasa Portugis berarti ekor, yang merujuk pada kewajiban tradisi itu sendiri.
Prosesi ritual Rabo-rabo dilakukan dengan mengunjungi gereja terdekat dan dilanjutkan dengan ritual ibadah. Sama seperti umat Islam yang melaksanakan salat Idul Fitri secara berjamaah, mereka juga beribadah di gereja secara berkelompok. Suasana menjadi lebih semarak dan semarak dengan diiringi musik dan tarian.
Sepulang dari kebaktian gereja, mereka melanjutkan tradisi mengunjungi tetangga dan kerabat dekat. Seperti halnya Aidilfitri, masyarakat memanfaatkan momentum ini untuk saling memaafkan atas kesalahan yang telah terjadi.
Sedangkan ritual Mandi-Mandi merupakan ritual tahunan menyambut tahun baru yang biasanya dilaksanakan pada minggu pertama setiap tahun.
Dalam perayaan tersebut, warga Kampung Tugu saling mengaplikasikan bedak pada wajah. Bedak yang digunakan hanya bedak berwarna putih, berbeda dengan Festival Holi di India yang menggunakan bedak warna-warni dari bahan alami.
Prosesi diawali dengan tetua adat yang mulai mengaplikasikan bedak pada wajah salah satu peserta keturunan Portugis. Setelah itu seluruh peserta yang hadir dapat saling membubuhkan bedak pada wajah masing-masing. Acara ini berlangsung dengan rasa kebersamaan dan diiringi dengan musik keroncong khususnya Keroncong Tugu.
Namun meski banyak tradisi, perayaan Natal dan Tahun Baru lebih mengutamakan ibadah.
“Kalau Natal, kita kebanyakan ke gereja. Kita utamakan ke gereja. Pertama ke gereja, malam Natal, malam Natal kita ke gereja,” ujarnya.
Erni mengatakan, kegiatan kebudayaan masyarakat Tugu ini akan dilaksanakan setelah rangkaian kegiatan Natal yaitu minggu pertama Januari 2026.
“Kita ada acara tanggal 1 Januari, kita ada acara Rabo-Rabo. Kita bersalaman dari rumah ke rumah. Itu Rabo-Rabo. Nanti minggu pertama bulan Januari. Kita ada acara Mandi-Mandi. Mandi-mandi artinya sepanjang tahun kita gores bedak, makanya hari itu kita minta maaf,” kata Erni.
(keluarga/bukan)

