Jakarta, Pahami.id –
Anggota Komisi DPR III dari faksi PDIP Yasonna Laoly Ingat proyek Tulis ulang Sejarah Republik Indonesia diprakarsai oleh Menteri Kebudayaan Zona fadli.
Yasonna, mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), mengingatkan akan sejarah tragedi berdarah pada tahun 1965. Menurutnya, peristiwa 1965 yang dikembangkan sejauh ini bertentangan dengan hasil penelitian terbaru.
“Setelah Ordo Baru, ada banyak penemuan, apa yang memiliki banyak penemuan, kedua data yang dirilis di Amerika, semuanya bertentangan dengan apa yang terjadi, sejarah G30 SPKI,” kata Yasonna di kompleks parlemen, Senayan, Rabu (5/20).
Yasonna mengklaim bahwa tidak perlu khawatir tentang presiden pertama Indonesia Sukarno dalam narasi sejarah. Terutama setelah namanya dipulihkan melalui keputusan MPR dan tidak terbukti di belakang para pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI).
Namun, dia memperingatkan bagian lain. Yasonna terutama mengingatkan bahwa penulis bisa lebih terbuka, karena sejarah seringkali bersifat politis.
“Jadi untuk FGD-FGD, lihat lebih dulu, dengarkan dulu, benar-benar sejarawan memiliki efisiensi, oke, tetapi sejarah terkadang memiliki elemen politik,” kata Yasonna.
“Dan jika dia berkata Dia adalah sebuah ceritaTIDAK Kisah kamiTerkadang, “tambahnya.
Sementara itu, Menteri Budaya Fadli Zone mengatakan penulisan sejarah Indonesia tidak akan mengubah sejarah pembantaian tahun 1965 yang sering disebut G30S PKI (Partai Komunis Indonesia) atau Gerakan Oktober One (Gestok).
Fadli mengklaim bahwa tidak ada kontroversi yang terkait dengan sejarah berdarah yang meninggalkan jutaan korban dari peristiwa politik.
“Jika jelas, publik dinyatakan oleh mereka, jadi apa yang Anda inginkan (perubahan), alih -alih tidak mengubah sejarah,” kata Fadli di daerah Jakarta Selatan pada hari Selasa (6/5).
“Jika itu jelas, PKI benar -benar ingin mengambil alih negara pada waktu itu. Di mana kontroversi itu? Tidak ada kontroversi,” katanya.
Pernyataan Fadli menuai kritik. Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan bahwa mengabaikan beberapa peristiwa gelap dalam perjalanan negara itu hanya akan mengulangi tulisan historis yang telah dilakukan oleh perintah baru dan bertentangan dengan etika penulisan sejarah itu sendiri.
Asvi mengatakan keputusan Kementerian Kebudayaan tidak akan merevisi insiden ’65 ke sejarah pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah pada ’98 harus dipertanyakan. Menurutnya, mengabaikan serangkaian acara bertentangan dengan etika penulisan historis.
“Jadi jika itu tidak berubah, itu adalah sesuatu yang bertentangan dengan sifat penulisan,” kata Asvi ketika dihubungi pada hari Kamis (8/5).
(FRA/THR/FRA)