Berita Prabowo Unggul versi Quick Count, Berikut Prediksi Pakar Asing soal RI

by

Jakarta, Pahami.id

Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 2 Prabu Subianto Dan Gibran Rakabuming Raka unggul dari dua pasangan calon lainnya berdasarkan hitungan cepat (perhitungan cepat) beberapa lembaga survei.

Berdasarkan hitung cepat Litbang Kompas pada Rabu (14/2) pukul 17.22 WIB, Prabowo dan Gibran memimpin dengan perolehan suara 58,73 persen dari 77,90 persen suara.

Sedangkan paslon nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar memperoleh 25,31 persen suara, dan paslon nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD memperoleh 15,95 persen suara.


Keunggulan Prabowo dan Gibran juga terlihat dari perhitungan cepat Charta Politika dengan perolehan suara 57,72 persen, serta LSI 57,26 persen dari 70,6 suara.

Pengamat kajian politik dan keamanan internasional dari Murdoch University, Ian Wilson memprediksi masa depan Indonesia jika Prabowo Subianto memenangkan pemilihan presiden (Pilpres) 2024.

[Gambas:Video CNN]

Pendapatnya dituangkan dalam tulisan opini bertajuk “Pemilu untuk mengakhiri semua pemilu?dirilis di situs Fulcrum pada Selasa (30/1). Situs tersebut berafiliasi dengan think tank ISEAS, Yusof Ishak Institute.

“Pada masa kepresidenan Prabowo, mungkin ada perluasan pendekatan ‘tidak ada oposisi’ dalam pemerintahan, yang dibingkai oleh pola-pola nasionalis untuk menjaga persatuan,” katanya.

Gabungan Indonesia Maju mengusung Prabowo-Gibran sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres kali ini. Partai yang tergabung dalam koalisi ini adalah Gerindra, Golkar, Demokrat, PSI, PAN, PBB dan Parti Gelora.

Apalagi, Prabowo mengatakan ingin melibatkan “semua pihak” dalam pemerintahan mendatang.

Pemerintahan tanpa lawan pernah terjadi di era Jokowi. Petahana menunjuk Prabowo, yang sebelumnya menjadi lawannya pada Pilpres 2019, sebagai menteri pertahanan.

Langkah tersebut, lanjut Wilson, adalah untuk menghilangkan oposisi di parlemen dan membatasi munculnya basis kekuatan yang saling bersaing.

Situasi ini tidak ditunjukkan secara terbuka, melainkan melalui koalisi dan negosiasi antar elite.

Wilson menilai dalam skenario seperti itu, proses inti demokrasi seperti pemilu dapat dipertahankan, meski dalam skala yang lebih kecil.

“Namun, potensi untuk menghasilkan perubahan substantif sebagian besar telah hilang,” katanya.

Bersambung di halaman berikutnya…


!function(f,b,e,v,n,t,s){if(f.fbq)return;n=f.fbq=function(){n.callMethod?
n.callMethod.apply(n,arguments):n.queue.push(arguments)};if(!f._fbq)f._fbq=n;
n.push=n;n.loaded=!0;n.version=’2.0′;n.queue=[];t=b.createElement(e);t.async=!0;
t.src=v;s=b.getElementsByTagName(e)[0];s.parentNode.insertBefore(t,s)}(window,
document,’script’,’//connect.facebook.net/en_US/fbevents.js’);

fbq(‘init’, ‘1047303935301449’);
fbq(‘track’, “PageView”);