Jakarta, Pahami.id –
Mantan Duta Besar Pakistan Untuk Niger dan Sudan, Muhammad Alam Brohi menilai situasi sosial ekonomi Pakistan kini berada pada titik mengkhawatirkan, ditandai dengan melonjaknya jumlah penduduk, menurunnya layanan dasar, dan meningkatnya tekanan politik terhadap masyarakat sipil.
Brohi mengatakan bahwa Pakistan saat ini hidup dalam “kemiskinan dan kesengsaraan” dengan terbatasnya akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan dan air bersih.
Menurut Brohi, masyarakat Pakistan menunjukkan tingkat sikap apatis yang semakin tajam akibat kerasnya kehidupan sehari-hari.
“Mereka hidup dalam kekaguman dan ketakutan terhadap kekuatan koersif negara,” katanya, seraya menambahkan bahwa hak-hak dasar masyarakat ditindas, sementara kebutuhan konstitusional mereka diabaikan tanpa adanya empati.
Ia mempertanyakan apakah situasi ini merupakan “tenang sebelum badai” atau merupakan tanda hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap negara.
Brohi menekankan minimnya alokasi anggaran untuk sektor sosial, khususnya pendidikan, kesehatan, perumahan, dan kesejahteraan masyarakat. Ia mencatat angka kemiskinan yang semakin meningkat, angka kematian anak yang tinggi, dan prioritas pemerintah terhadap pembangunan manusia.
Selain itu, Brohi juga mengatakan lebih dari 22 juta anak Pakistan berusia 5-15 tahun tidak bersekolah, sementara lebih dari 20.000 sekolah di Sindh yang rusak akibat banjir “masih tidak berfungsi”.
Selain itu, Brohi mengkritik meningkatnya kasus penyiksaan dan pembunuhan dalam tahanan oleh aparat kepolisian yang menurutnya melibatkan pejabat tinggi. Ia menilai demokrasi di Pakistan telah berubah menjadi otoritarianisme.
“Demokrasi telah berubah menjadi olok-olok dan digantikan oleh otokrasi yang menindas,” katanya, mengacu pada mantan Perdana Menteri Shahid Khaqan Abbasi yang hanya diperbolehkan “bertindak sebagai pekerja, bukan sebagai kepala eksekutif.”
Ketergantungan ekonomi Pakistan
Di bidang ekonomi, Brohi menilai Pakistan terus bergantung pada bantuan luar negeri dan pinjaman luar negeri tanpa adanya reformasi yang berarti.
Ia menyebut upaya reformasi pertanian sejak era Ayub Khan hingga Zulfikar Ali Bhutto adalah sebuah kepalsuan. Ia juga mengatakan bahwa industrialisasi Ayub hanya memperkaya beberapa dinasti bisnis, sedangkan kebijakan nasionalisasi Bhutto “adalah sebuah bencana”, yang berarti sektor swasta tidak pernah pulih.
Brohi juga menyoroti buruknya kondisi BUMN yang terus menumpuk utang, rendahnya rasio pajak terhadap PDB, dan buruknya pemungutan pajak akibat korupsi dan inefisiensi. Menurutnya, struktur pemerintahan telah membengkak karena banyaknya menteri, penasihat, dan pembantu khusus “yang masing-masing hidup berdasarkan protokol seperti raja abad pertengahan.”
Ia menilai seluruh pemerintahan Pakistan gagal mengekang pertumbuhan penduduk, sementara kapasitas produksi dan sumber daya negara tersebut terus menurun. Data untuk perencanaan pembangunan juga dinilai kurang mendapat perhatian. “Tambal sulam adalah pola kerja masing-masing rezim,” ujarnya.
Brohi menggambarkan dua hingga tiga tahun terakhir ini sebagai fase “keputusasaan dan kekecewaan terbesar,” yang ditandai dengan pembungkaman kritik, pengepungan media, dan kriminalisasi partai politik yang dianggap bertentangan dengan negara. Ia menyinggung praktik hilangnya aktivis dan kemunculan mereka pada konferensi pers yang diduga “direkayasa” untuk mengumumkan pengunduran diri mereka dari partai.
Brohi mengingatkan, penggunaan kekuatan koersif ini pernah terjadi di masa lalu dan selalu mengakibatkan bangkitnya kelompok politik yang tertindas. “Tidak ada orang waras yang mengira hasilnya akan berbeda kali ini,” katanya.
Menurut Brohi, ancaman terbesar bagi Pakistan bukan datang dari luar, melainkan dari kelompok elite itu sendiri. Dia menggambarkan mereka sebagai kelompok yang “mematuk negara seperti burung hantu,” sambil menikmati fasilitas khusus dalam bentuk sekolah elit, rumah sakit premium, dan jaringan perumahan mewah.
Dia mengutip laporan UNDP yang mengatakan sekitar 6% dari PDB Pakistan, atau $300 miliar, “dikuras setiap tahun oleh kelompok elit melalui konsesi dan hak istimewa yang tidak tepat.”
Meski begitu, Brohi tetap menyatakan keyakinannya bahwa nilai-nilai politik pada akhirnya akan memenangkan penindasan.
“Saya percaya demokrasi akan menang atas otokrasi, kebebasan atas penindasan, keadilan atas ketidakadilan,” katanya, seraya memperingatkan bahwa sikap apatis masyarakat bisa menjadi kehancuran suatu bangsa.
(DNA)

