Berita Militer Dilatih untuk Perang, Bukan Berbisnis

by


Jakarta, Pahami.id

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengecam usulan penghapusan pasal larangan prajurit TNI melakukan kegiatan usaha di hukum TNI.

Koalisi menilai usulan tersebut salah dan mencerminkan kemunduran reformasi di TNI.

Usulan ini merupakan pandangan yang salah dan mencerminkan kemunduran upaya reformasi TNI. TNI terdidik, terlatih, dan siap tempur. Inilah raison d’etre (hakikat) TNI di negara mana pun, dikutip dari The Pernyataan Koalisi Sipil, Selasa (16/7).


Koalisi sipil menyatakan bahwa tugas dan fungsi tentara dalam menghadapi perang atau dalam bidang pertahanan merupakan suatu tugas mulia dan suatu kebanggaan bagi seorang prajurit.

Oleh karena itu, prajurit dipersiapkan untuk menjadi profesional sepenuhnya di bidangnya, bukan di bidang bisnis.

“Tentara tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan harga diri sebagai militer yang akan berdampak membingungkan tugasnya dalam melindungi kedaulatan negara,” tulis koalisi tersebut.

Menurut koalisi, rencana penghapusan larangan berusaha dalam UU TNI tidak hanya berdampak pada melemahnya profesionalisme militer, tetapi juga berdampak pada melemahnya upaya militer dalam menjaga pertahanan negara dan kedaulatan negara.

Koalisi tersebut menyatakan bahwa militer diberi anggaran besar untuk dibelanjakan pada peralatan utama sistem (Alutsista) yang ditujukan sepenuhnya untuk menyediakan kemampuan tempur, bukan untuk bisnis dan politik.

“Dengan demikian, rencana peninjauan kembali usulan pencabutan larangan berusaha dalam UU TNI merupakan sesuatu yang berbahaya dalam pengembangan profesionalisme militer itu sendiri,” kata koalisi.

Selain itu, koalisi menyatakan politik hukum dimasukkannya pasal larangan berusaha dalam UU TNI karena pengalaman sejarah pada masa Orde Baru.

Saat itu, menurut koalisi, tugas dan fungsi militer yang terlibat dalam politik dan bisnis telah mengganggu bahkan mengganggu profesionalisme militer itu sendiri.

“Dampak lainnya bahkan mengancam demokrasi dan kebebasan sipil. Oleh karena itu, ketika reformasi tahun 1998 dicanangkan, tentara dikembalikan ke fungsi semula sebagai pertahanan negara,” tulis koalisi tersebut.

Oleh karena itu, Koalisi Sipil meminta DPR dan Pemerintah segera menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang dinilai kontroversial.

Koalisi menegaskan, salah satu persoalan profesionalisme TNI adalah soal urusan pengamanan di perusahaan swasta dan milik pemerintah serta pengamanan proyek pemerintah.

“Menghapus pasal ini dapat melegitimasi tuduhan praktik bisnis keamanan yang terjadi, khususnya di sektor sumber daya alam,” kata koalisi tersebut.

Koalisi menilai yang perlu dilakukan pemerintah bukanlah merevisi UU TNI dengan mencabut larangan berusaha bagi prajurit TNI, melainkan memastikan kesejahteraan prajurit terjamin dengan dukungan APBN.

Praktek ini terbukti menyebabkan rusaknya profesionalisme TNI seperti pada masa Orde Baru. Selain itu, TNI perlu mengalokasikan anggaran pertahanan secara jelas untuk menjamin alutsista modern dan kesejahteraan prajurit, tulisnya. . kombinasi.

Usulan penghapusan ini sebelumnya muncul dalam Sidang Umum RUU Perubahan UU TNI yang digelar Kemenko Polhukam pada Kamis (11/7).

Dalam acara tersebut, Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksamana Muda (Laksda) Kresno Buntoro menjelaskan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto telah menulis surat kepada Menko Polhukam Hadi Tjahjanto untuk membahas beberapa pasal lainnya. yang sedang berlangsung. revisi UU TNI.

Salah satunya pasal 39 huruf c. Kresno mencontohkan istrinya yang memiliki usaha warung makan di rumahnya. Menurutnya, hal itu membuat dirinya mau tidak mau terlibat dalam kegiatan usaha toko tersebut.

“Jika ini dilaksanakan maka saya akan dihukum. Tentara dilarang melakukan bisnis. Istriku, aku pasti ingin terlibat atau tidak. WangSaya nongkrong berbelanja dan sebagainya. Jadi apakah ini ada? Sekarang, jika saya memeriksanya, saya bisa mendapatkannya. Oleh karena itu kami menyarankan agar hal ini dihilangkan, kata Kresno.

Menurut dia, yang seharusnya dilarang melakukan kegiatan usaha adalah institusi TNI, bukan prajurit TNI.

“Tetapi jika Anda seorang tentara, bukankah Anda hanya ingin membuka toko kelontong? Saya akan minta sopir saya mengejar Anda. nongkrong Saya. Secara kebetulan, saya mendapatkan supirnya sekarang. Kadang-kadang ia selesai saat senja, atau pada hari Sabtu dan Minggu ia naik ojek. Dia sedang berbisnis. Kenapa tidak bisa?” ujarnya.

(yo/wi)