Jakarta, Pahami.id —
Presiden Prabu Subianto resmi melantik mantan anggota Komisi I DPR itu Sugiono selaku Menteri Luar Negeri Republik Indonesia pada Kabinet Merah Putih pada Senin (21/10).
Dengan demikian, Sugiono yang baru berusia 45 tahun menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia pertama yang bukan diplomat karir sejak tahun 2001.
Menlu RI terakhir yang berasal dari politisi dan bukan diplomat karir adalah Alwi Shihab pada era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada 1999-2001.
Sebelum diangkat menjadi Menteri Luar Negeri RI, Sugiono menjabat Wakil Ketua Komisi I DPR RI dan Wakil Ketua Gerindra Bidang Pengembangan Kader dan Informasi Strategis.
Meski bukan seorang diplomat karir, Sugiono bisa dikatakan dekat dengan praktik politik luar negeri Indonesia, terutama saat bekerja di Komisi I DPR RI yang fokus pada bidang pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, serta intelijen negara.
Lantas, bagaimana para pengamat dan analis melihat arah politik luar negeri Indonesia di era Presiden Prabowo Subianto, khususnya Sugiono sebagai Menteri Luar Negeri RI?
Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Yon Machmudi mengatakan, Prabowo memilih Sugiono yang tidak memiliki latar belakang diplomat karena beberapa faktor.
Pertama, kemungkinan Pak Prabowo sendiri yang memimpin politik luar negeri negara, kata Yon saat dihubungi CNNIndonesia.comMinggu (20/10).
Artinya, politik luar negeri Indonesia berada langsung di tangan Prabowo, bukan dilimpahkan ke Menteri Luar Negeri.
Di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), menurut Yon, politik luar negeri dipercayakan “sepenuhnya” kepada mantan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Pada masa kepemimpinannya, Jokowi lebih fokus dan mengutamakan kepentingan domestik dan perekonomian negara.
Yon menilai posisi Menlu kali ini tidak lagi sama karena dikendalikan langsung oleh presiden. Artinya, Prabowo kemungkinan besar akan vokal mengenai posisi dan sikap Indonesia secara langsung.
Sementara itu, Pengamat HI sekaligus dosen Sekolah Kajian Strategis Global (SKSG) Universitas Indonesia, Sya’roni Rofii mengatakan, “Prabowo akan lebih aktif dalam menggalang kekuatan di kawasan.”
Penunjukan orang kepercayaan Prabowo seperti Sugiono, lanjutnya, merupakan bagian dari strategi.
Selain dekat dengan persoalan luar negeri Indonesia, Sugiono juga disebut-sebut dekat dengan Prabowo bahkan dijuluki sebagai “anak ideologis Prabowo”.
“Menurut saya, politik luar negeri Indonesia akan tetap berlandaskan politik luar negeri yang independen dan aktif. Namun pendekatannya akan berbeda,” kata Sya’roni.
Janji Pendirian KBRI Palestina, baca halaman selanjutnya >>>
Tiga perwakilan Menlu RI
Dalam pidato pertamanya setelah dilantik, Prabowo juga menekankan prinsip non-blok dan menolak mengikuti aliansi militer apa pun. Tak hanya itu, ia menggarisbawahi komitmen dan dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina.
Untuk memperkuat cita-citanya, Prabowo menunjuk tiga wakil menteri luar negeri untuk mendampingi Sugiono.
Mereka adalah Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta, Duta Besar Indonesia untuk PBB Arrmanatha Nasir, dan Duta Besar Indonesia untuk Jerman Arif Havas Oegroseno. Dari ketiga nama tersebut, dua di antaranya berlatar belakang diplomat.
Gelora merupakan salah satu partai pendukung Prabowo pada Pilpres tahun ini.
Pekan lalu, saat Prabowo menelpon calon menteri dan wakil menteri, Anis mengaku akan menjadi Wakil Menteri Luar Negeri yang membidangi dunia Islam, sedangkan Arrmanatha atau biasa disapa Arrmanatha akan fokus pada urusan Amerika-Eropa.
“Tadi (Tata), dia akan lebih fokus ke Amerika dan Eropa. Saya lebih fokus ke dunia Islam,” ujarnya usai menyambangi kediaman Prabowo.
Saat itu, nama Arif Havas belum santer beredar sebagai calon wakil menteri luar negeri.
Anis juga belum mengetahui di bidang mana Arif Havas bekerja.
“Saya belum tahu,” katanya CNNIndonesia.com pada Minggu (20/10), saat ditanya mengenai wilayah tugas Arif Havas.
Selama ini kawasan yang belum dikuasai menteri luar negeri adalah Asia, Indo-Pasifik, Afrika, dan Amerika Latin.
Dalam kesempatan tersebut, Sya’roni berharap kehadiran lebih dari satu wakil menteri luar negeri dapat memperluas pergerakan diplomasi Indonesia.
Yon juga berharap kehadiran ketiga wakil menteri luar negeri tersebut dapat memperkuat posisi Indonesia di dunia internasional.
“Dengan posisi Wakil Menteri Luar Negeri yang saat ini dekat dengan Pak Prabowo, kami berharap kepemimpinan luar negeri semakin kuat karena berada di bawah dan diarahkan oleh presiden,” ujarnya.
Yon juga mengatakan, pembagian tugas wakil menteri luar negeri berdasarkan provinsi sangat penting.
Anis Matta yang rencananya akan mengurus dunia Islam diperkirakan akan fokus di Timur Tengah, termasuk Palestina.
“Kami berharap aspirasi masyarakat Indonesia mengenai dukungan terhadap kemerdekaan Palestina dapat dilaksanakan secara lebih praktis melalui Menteri Luar Negeri, Wakil Menteri Luar Negeri yang membidangi urusan dunia Islam,” kata Yon.
Janji mendirikan KBRI di Palestina
Dalam visi misi Prabowo dan wakilnya Gibran Rakabuming saat kampanye pemilihan presiden (Pilpres) Februari lalu, salah satunya adalah membangun KBRI di Palestina.
“Kalau Pak Prabowo ingin membangun KBRI di Palestina, tergantung kebutuhan di lapangan, apakah kebutuhan legitimasi atau kebutuhan teknis,” kata Sya’roni.
Mempertanyakan persyaratan teknis adalah urusan administratif jika ingin berwisata ke sana. Selama ini urusan terkait Palestina dibantu oleh KBRI terdekat, seperti KBRI Yaman.
Kemudian perlunya legitimasi berarti didirikannya KBRI sebagai pengakuan bahwa Palestina adalah negara yang merdeka dan berdaulat.
Namun, Palestina kini berada di bawah pendudukan Israel. Perundingan gencatan senjata di Gaza juga mengalami kemajuan setelah pemerintahan Benjamin Netanyahu terus membunuh pemimpin Hamas, pihak yang ikut serta dalam perundingan tersebut.
Yon punya penilaian berbeda terkait pendirian KBRI Palestina.
Dia yakin keputusan Prabowo menunjuk wakil menteri yang khusus menangani dunia Islam akan memperkuat dukungan Indonesia terhadap Palestina.
Lalu apakah dari situ bisa didirikan KBRI di Palestina? Saya kira ini sangat berkaitan dengan sejauh mana upaya kemerdekaan Palestina telah dilakukan, kata Yon.
Selama Palestina bisa merdeka, menjadi negara merdeka dan berdaulat, Yon menilai pendirian KBRI Palestina bisa terwujud.
Namun, selama Palestina masih berada di bawah pendudukan Israel, impian membangun kedutaan besar di sana sulit terwujud.
“[Karena] Tentu saja kualifikasinya harus mendapat izin Israel, saya kira tidak mungkin mendapat pengakuan Israel dulu, kata Yon.
Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Namun, selama beberapa tahun terakhir, pemerintah Zionis terus berupaya menormalisasi hubungan dengan negara-negara Muslim atau negara mayoritas Muslim, termasuk Indonesia.
Indonesia berulang kali menegaskan bersedia membangun hubungan jika Israel mengakhiri pendudukannya dan Palestina merdeka penuh.
Kemerdekaan Palestina baru kemudian mendirikan Kedutaan Besar Palestina di Indonesia, kata Yon.
Guna mempercepat penyelesaian konflik di Palestina yang bisa menjadi pintu gerbang kemerdekaan negara, Yon menyarankan agar pemerintah bisa memberikan tugas khusus kepada wakil menteri luar negeri.
Untuk menangani Palestina, atau setidaknya ada utusan khusus untuk Palestina yang bertugas mewujudkan aspirasi dan dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina, ujarnya.
Yon juga menyarankan agar ada lembaga khusus yang menangani persoalan Palestina termasuk memberikan dukungan kepada negara Timur Tengah tersebut.
Persiapan ini, lanjutnya, juga ditambah dengan langkah-langkah diplomasi yang telah dilakukan sebelumnya.