Donald Trump memenangkan pemilihan presiden (Pilpres) Amerika Serikat versi hitung cepat media.
Dalam perhitungan Waktu New York Trump meraih 50,9 persen atau 72 juta suara populer. Dia juga mendapatkan 295 suara elektoral mengalahkan Kamala Harris.
Harris hanya memperoleh 226 suara elektoral dan 47 persen atau 67 juta suara populer.
Trump juga menyapu bersih negara-negara bagian yang merupakan medan pertempuran bagi kedua kandidat dalam pemilu.
Lalu, kenapa Trump bisa menang dengan terpeleset dan membuat Harris kalah?
Kemenangan Trump tidak lepas dari ruang lingkup dan metode kampanyenya.
Sejak awal, kampanye Trump bertujuan untuk membentuk kembali koalisi politik yang mendukungnya dalam pemilu AS.
Trump bahkan menyingkirkan orang-orang yang ragu dan menggantinya dengan loyalis yang bisa memberinya kemenangan dalam pemilu.
“Kita perlu menyatukan seluruh aparat di bawah satu komando,” kata seorang sumber dari Partai Republik CNN.
Trump juga menargetkan kelompok-kelompok yang secara tradisional merupakan loyalis Demokrat. Mereka adalah kelompok serikat pekerja, warga kulit hitam dan Latin, serta pekerja sektor informal.
Pada saat yang sama, sekutu Trump mengambil keuntungan dari keretakan Partai Demokrat dengan basis mereka.
Joe Biden, presiden yang didukung Partai Demokrat pada pemilu presiden 2020, menjadi sorotan karena bantuan yang mengalir deras ke Israel dan Ukraina.
Warga AS melakukan protes keras terhadap pemerintah yang menghentikan bantuan kepada Israel.
Israel melancarkan agresi terhadap Palestina sejak Oktober 2023. Dalam operasi tersebut, mereka menyerang warga sipil dan objek sipil di Gaza. Namun AS sebagai sekutu utama tidak mengambil sikap tegas.
Warga juga marah kepada pemerintah karena terus mengirimkan bantuan militer ke Ukraina di saat inflasi sedang tinggi dan perekonomian masyarakat sedang dalam kesulitan.
Di tengah kekacauan tersebut, sebuah organisasi yang berafiliasi dengan Partai Republik, Komite Aksi Politik (PAC), menyiarkan iklan radio yang meminta warga Arab di Detroit untuk mendukung kandidat Partai Hijau Jill Stein karena konflik Timur Tengah.
Pada saat yang sama, Koalisi Yahudi Partai Republik menghabiskan $15 juta untuk menyasar pemilih Yahudi yang kecewa dengan dukungan pemerintah, dalam hal ini Demokrat, terhadap Israel dan dukungan sayap kiri terhadap kelompok pro-Palestina di kampus-kampus.
Pada bulan April, banyak kampus di AS melakukan protes dan mendukung gencatan senjata Palestina. Situasi ini membuat Partai Demokrat gelisah dan Partai Republik memanfaatkannya.
Bersambung di halaman berikutnya…