Berita Kemenag-MUI Temukan 151 Nama Produk Bermasalah Dapat Sertifikat Halal

by


Jakarta, Pahami.id

Badan Promosi Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Komite Fatwa Produk Halal menemukan total 151 nama produk bermasalah yang mendapat izin. sertifikat halal dari badan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag).

Hal ini diketahui saat rapat konsolidasi antara BPJPH, Komisi Fatwa MUI, dan Komite Fatwa Produk Halal untuk menindaklanjuti produk dengan nama “tuyul”, “tuak”, “bir” dan “wine” yang telah mendapat persetujuan. sertifikat halal dari institusi. di bawah naungan Kementerian Agama, Selasa (8/10).

Dari konsolidasi ini kita peroleh data 5.314.453 produk (bersertifikat halal), 151 (produk yang) namanya bermasalah. Persentasenya 0,003%. Artinya alhamdulillah kita cukup tepat, kata Kepala BPJPH Kemenag. . , Muhammad Aqil Irham, dikutip dari surat kabar Kementerian Agama, Rabu (9/10).


Namun, Aqil mengidentifikasi dari 151 nama produk bermasalah, ada 30 nama produk yang bisa dikecualikan.

“Dan tak terkecuali jumlahnya 121,” lanjut Aqil.


Dalam keterangan tertulis yang sama, Ketua Fatwa MUI Asrorun Niam Soleh menjelaskan Fatwa MUI nomor 44 tahun 2020, ada dua syarat terkait penamaan produk.

Pertama, adanya pengecualian terkait penggunaan nama, bentuk, dan/atau kemasan yang diatur dalam fatwa nomor 44 tahun 2020 yang secara umum dianggap wajar atau tidak dikaitkan dengan sesuatu yang melawan hukum. Misalnya ‘bir pletok’ karena dikenal sebagai minuman tradisional yang halal, suci, dan tidak dikaitkan dengan konsep bir yang mengandung alkohol.

Asrorun juga mengatakan, tidak semua jenis kata ‘alkohol’ dilarang. Misalnya, ‘anggur merah’ mengacu pada jenis warna yang digunakan secara empiris di masyarakat.

“Hal ini penting untuk dipahami secara menyeluruh agar tidak menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat,” kata Asrorun.

Pada situasi kedua, Asrorun menjelaskan, fatwa MUI mengatur nama produk pada bahan tidak sesuai dengan fatwa. Oleh karena itu, semua pihak perlu berkomitmen untuk melakukan perbaikan dan juga meminta pelaku usaha untuk melakukan perbaikan dan perubahan sesuai standar fatwa.

Terkait mekanisme koreksi nama produk, dibahas adanya cara afirmatif dalam melaksanakan proses koreksi tersebut dalam rangka mematuhi berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan serta standar fatwa yang dijadikan acuan dalam proses tersebut. menentukan fatwa halal.

Masih dalam keterangan yang sama, Ketua Komite Fatwa Produk Halal Zulfa Mustofa mengatakan, masyarakat tidak perlu meragukan sistem jaminan produk halal (SJPH) dan sertifikat halal yang dikeluarkan BPJPH yang diterbitkan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh BPJPH. Komisi Fatwa MUI dan Komite Fatwa Produk Halal.

“Karena pada dasarnya kita menggunakan referensi yang sama, standar fatwa yang sama, kemudian melalui proses audit yang sama juga, meski pada produk normal mungkin sedikit lebih rumit,” kata Zulfa.

“Jadi, mengenai hal-hal yang sudah disepakati, ada yang dikecualikan, ada yang tidak dikecualikan, akan ada mekanisme yang kita lalui bersama. Ada proses perbaikan dan ada juga proses konfirmasinya,” dia dikatakan. menambahkan.

Sebelumnya, dalam keterangan resmi terpisah, MUI Pusat mengungkapkan, produk pangan dengan nama tuyul, tuak sawit, bir, dan tuak belum lama ini telah mendapat sertifikat halal dari BPJPH Kementerian Agama. Asrorun dalam keterangannya mengatakan, temuan ini menyikapi laporan masyarakat agar MUI mengonfirmasi, menjelaskan, mengkaji, serta segera berkoordinasi dengan BPJPH Kementerian Agama agar permasalahan serupa tidak terulang kembali.

Dari hasil penelusuran dan pendalaman dipastikan informasi tersebut valid, produk ini memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui deklarasi mandiri, tanpa melalui audit dari Badan Pemeriksa Halal, dan tanpa sertifikasi halal. penetapannya melalui Komisi Fatwa MUI,” kata Asrorun dalam keterangan resmi, Selasa (1/10). Asrorun menjelaskan, nama produk tersebut tidak boleh sesuai fatwa MUI. Oleh karena itu, MUI menegaskan tidak bertanggung jawab. klaim halal mengenai produk tersebut

Selain itu, jelas Asrorun, diperoleh informasi bahwa produk tersebut legal, memiliki bukti jelas yang ditampilkan di website BPJPH, dan diarsipkan oleh jurnalis. Namun belakangan nama produk tersebut sudah tidak tercantum lagi di aplikasi BPJPH.

Ia mengaku akan segera berkoordinasi dengan BPJPH Kementerian Agama untuk mencari solusi terbaik agar kasus serupa tidak terulang kembali.

Dua skema sertifikasi halal di Indonesia

Dalam siaran persnya, Kementerian Agama menjelaskan, sesuai amanat peraturan perundang-undangan, sertifikasi halal dapat dilakukan oleh pelaku usaha melalui dua skema.

Skema pertama, skema normal yang prosesnya dimulai dengan penyerahan sertifikat halal melalui BPJPH Sihalal, kemudian pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk oleh Lembaga Pemeriksa Halal yang dilakukan oleh auditor halal.

Hasil audit ini kemudian didengar dalam konferensi fatwa Komisi Fatwa MUI. Hasil uji coba berupa penetapan produk halal kemudian menjadi dasar BPJPH untuk menerbitkan sertifikat halal digital sesuai sistem.

Skema kedua, sertifikasi halal dengan skema self-declaration atau pernyataan pelaku usaha.

Skema ini dimulai dengan pengajuan sertifikasi halal oleh usaha mikro dan kecil (yang produknya tersertifikasi terbuat dari bahan halal dan diproses secara singkat) melalui akun Sihalal.

Kemudian, Pendamping Proses Produk Halal (P3H) memberikan pendampingan kepada pelaku usaha untuk menjamin kehalalan baik bahan maupun proses produksi. Hasil pendampingan tersebut kemudian dibahas dalam sidang fatwa oleh Komite Fatwa Produk Halal yang keputusan penetapan kehalalan produk menjadi dasar penerbitan sertifikat halal digital oleh BPJPH melalui Sihalal.

(rzr/anak)