Jakarta, Pahami.id —
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjelaskan alasan majelis hakim harus menolak 10 alat bukti yang diminta para pihak Saka Tatal bukti baru atau novum dalam suatu perkara pembunuhan Vina dan Eky.
Jaksa penuntut umum menjelaskan keterangan Saka Tatal dalam sidang Peninjauan Kembali (PK) tidak sesuai dengan Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Novum satu sampai dengan 10 yang dianggap sebagai alat bukti baru atau novum oleh penasehat hukum pemohon peninjauan kembali, bukanlah keadaan baru atau alat bukti atau novum baru menurut Pasal 263 KUHAP yang dapat dijadikan alasan peninjauan kembali. dapat dilaksanakan,” kata jaksa dalam lanjutan sidang PK di Pengadilan Negeri Cirebon, Jumat (26/7).
Dan sudah sepantasnya majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menolak alasan tersebut, ujarnya.
Jaksa menjelaskan, bukti 1 sampai 5 yang dibawa tim kuasa hukum Saka Tatal bukanlah bukti baru.
Novum 1 yang dikirimkan Saka Tatal adalah foto Eky di RS Gunungjati, Cirebon. Pengacara Saka mengatakan foto itu diambil pada Agustus 2016, setelah Eky dibawa polisi dari jalan layang.
Novum 2 adalah foto Vina di RS Gunungjati. Gambar ini diperoleh pada 27 Agustus 2016, sekitar pukul 23.30 WIB.
Tanggal 3 November, hasil otopsi menunjukkan Vina mengeluarkan darah dari kedua lubang hidungnya. Novum 5, foto kondisi motor Eky diperoleh pada 29 Agustus 2016.
Jaksa mengatakan bukti-bukti tersebut telah diperiksa dan dipertimbangkan oleh majelis hakim. Akibatnya terjadi pembunuhan yang menyebabkan Vina dan Eky meninggal dunia.
“Telah dipertimbangkan dan diperiksa oleh majelis hakim dalam putusan Nomor. 16/PidSusAnak/2016/pncirebon tanggal 24 Oktober 2016. Pada tahap banding dan kasasi pun terbukti tindak pidana pembunuhan berencana dilakukan oleh anak Saka. Berguling bersama narapidana lain sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP,” jelas jaksa.
Kemudian, menurut jaksa, novum ke-6 yang dibawa pihak Saka terkait bukti rekor Liga Besar terpaksa ditolak karena tidak relevan.
Kemudian, menurut jaksa, 7 November yang berisi rekaman pidato Kapolri Listyo Sigit juga harus ditolak. Dalam rekaman tersebut, Listyo mengungkapkan, dalam proses penangkapan terdakwa, polisi tidak menggunakan sistem penyidikan kriminal ilmiah dalam proses penyidikan dan penyidikan kematian Muhammad Rizki Rudiana dan Vina.
“Menurut kami, berkas keterangan Kapolri yang diajukan dalam novel tujuh oleh pemohon sebaiknya ditolak karena informasi tersebut tidak dapat diperkenankan secara hukum karena pemohon tidak memiliki kajian ilmiah,” jelasnya.
Saka Tatal sebelumnya mengungkap momen penangkapannya. Dia ditangkap pada malam hari saat dalam perjalanan ke bengkel. Dia yakin polisi salah melakukan penangkapan.
Perjalanan menuju bengkel melewati jembatan layang tempat Vina terbunuh. Sebelum melintasi jembatan layang, Saka melihat polisi dari jauh.
Dia mengira ada penggerebekan. Lalu, dia ingin berbalik. Namun Saka Tatal berhasil ditangkap polisi dan dibawa ke kantor polisi.
Saka Tatal pun mendaftarkan permohonan peninjauan kembali kasusnya ke Pengadilan Negeri Cirebon pada 8 Juli 2024.
“Pemohon tidak memahami maksud dari penyidikan pidana ilmiah yang sebenarnya dilakukan dalam penanganan anak Saka Tatal seperti pemeriksaan otopsi et repertum, pemeriksaan psikologi dan didukung alat bukti berdasarkan Pasal 184 KUHP. ,” dia menambahkan.
Novum 8, menurut jaksa, berkas bukti Dedi Mulyadi harus ditolak karena tidak relevan. Novum ke-9 terkait pernyataan Saka Tatal di salah satu stasiun TV yang mengaku dianiaya oleh Polres Cirebon dan Polda Jabar. Jaksa menyangkal hal ini terjadi.
Novum ke-10 itu terkait penghapusan 2 daftar pencarian orang (DPO) oleh Polda Jabar. Menurut jaksa, pembatalan 2 DPO tersebut tidak terkait dengan terbunuhnya Vina dan Eky.
(Yala/Senin)