Jakarta, Pahami.id –
Asosiasi Penasihat Indonesia (Ikadin) Sorot beberapa artikel dalam draft undang -undang tentang Kode Prosedur Pidana (RUU -INVITE KUHP) yang dianggap potensial untuk merusak peran pendukung.
Ketua Ikadin Maqdir Ismail mengatakan KUHP terbatas pada pergerakan pengacara dalam memberikan hukum, terutama di luar persidangan. Dia mengkritik Pasal 142 paragraf (3) dari huruf B dalam draft Kode Prosedur Pidana yang membatasi para pendukung untuk memberikan pendapat mereka di luar pengadilan tentang kasus klien.
“Sekarang di RKUHAP, pengacara dilarang menyampaikan pendapat dan pendapat selain di ruang persidangan.
“Saya tidak berpikir ini adil, ini adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia,” katanya.
Jika ini masih berlangsung, Ikadin menilai bahwa pendukung berisiko sanksi berdasarkan Pasal 21 Undang -Undang Kejahatan Korupsi (Hukum Korupsi). Menurutnya, alokasi ini mengancam kebebasan pendapat dan peran pertahanan pertahanan.
Pasal 142 paragraf (3) Surat B dari Kode Prosedur Pidana adalah salah satu artikel yang dikritik oleh pendukung dan organisasi bantuan hukum.
Artikel ini menyatakan bahwa pendukung dilarang memberikan pendapat atau pernyataan di luar pengadilan yang berkaitan dengan kasus ini, kecuali di ruang konferensi. Jika melanggar, pembelaan dapat didakwa memblokir proses hukum.
Oleh karena itu, artikel ini adalah bentuk kebebasan pendapat dan upaya untuk membatasi peran kontrol sosial atas petugas penegak hukum.
Maqdir juga mengacu pada masalah klasik dalam kasus -kasus korupsi, yang merupakan perdebatan tentang kerugian keuangan nasional. Dia mengatakan perhitungan kerugian seringkali tidak didasarkan pada parameter yang jelas dan mengabaikan keputusan Nomor Pengadilan Konstitusi 21/2014/5, yang mengkonfirmasi bahwa kerugian negara harus jelas dan pasti.
“Ketika para pendukung mengoreksi berita, itu juga dianggap menghalangi penyelidikan,” katanya.
Maqdir juga menyebutkan keberadaan Saksi Mahkota. Praktik ini dianggap terpapar pelecehan karena memungkinkan seseorang untuk mengenali kejahatan yang tidak harus dilakukan untuk bantuan.
“Saya khawatir pengakuan hanya digunakan untuk membuatnya ringan. Ini membuka peluang untuk penyalahgunaan kekuasaan,” katanya.
Sejalan dengan Maqdir, Paduan Suara Komisaris Kompolik Anam menekankan pentingnya posisi pembelaan sebagai otoritas petugas penegak hukum. Dia mengkritik potensi pelanggaran kerahasiaan antara pendukung dan pelanggan dalam kasus yang terkait dengan keamanan nasional.
“Masalah yang paling serius adalah diskusi advokat dengan pelanggan dalam konteks keamanan nasional, itu dapat didengar oleh penegakan hukum.
Komisi III Parlemen Indonesia sedang mempersiapkan rancangan Kode Prosedur Pidana yang dirancang untuk berlaku dengan KUHP yang dimulai hanya pada tahun 2026. Pasal 142 paragraf (3) RUU -Izin Kode Prosedur Pidana adalah salah satu artikel kontroversial yang dikritik oleh advokat dan koalisi publik.
(Kay/pt)