Berita Anggota DPR Nilai Pelantikan Irjen Iqbal sebagai Sekjen DPD Legal

by


Jakarta, Pahami.id

Komisaris Komisi III, Muhammad Nasir Djamil, menekankan bahwa pembukaan Kepala Inspektur (Irjen) Mohammad Iqbal sebagai Sekretaris -Jenderal (Sekretaris -Jenderal) DPD RI dikendalikan dalam hukum tentang peralatan sipil negara (hukum ASN).

Menurut Nasir, dalam pasal 19 dan 20 undang -undang nomor 20 tahun 2023 di ASN, dinyatakan bahwa petugas polisi tinggi dapat ditugaskan untuk mengisi posisi di luar lembaga, termasuk lembaga pusat seperti DPD RI. Dia menekankan bahwa penyelesaian itu valid dan tidak melanggar aturan apa pun.

“Itu diatur dalam undang -undang ASN, sehingga hukum ASN mengendalikan penempatan Pati Polri di luar lembaga polisi.


Pasal 19 Hukum Nomor 20 tahun 2023 di ASN pada poin 1, menyatakan bahwa posisi ASN diisi oleh karyawan ASN. Kemudian, pada titik ke -2, posisi ASN tertentu dapat diisi dari Tentara TNI dan Petugas Kepolisian Negara Bagian Indonesia, yang dilakukan di Badan Pusat sebagaimana diatur dalam Angkatan Darat Indonesia dan hukum polisi Indonesia.

Sementara itu, dalam Pasal 20 Hukum Nomor 20 tahun 2023 tentang ASN menyatakan bahwa pekerja ASN dapat menjabat di TNI dan Polri sesuai dengan efisiensi yang diperlukan.

Anggota parlemen dari faksi -faksi UKM juga menekankan bahwa polisi nasional adalah lembaga publik, bukan militer. Sehingga penugasan Iqbal seperti ini tidak bertentangan dengan karakter institusi.

“Jika kita melihat polisi, dia adalah organisasi publik, bosnya adalah undang -undang, yang berarti bahwa ketika ada pejabat tinggi, dia harus dihukum, tidak seperti militer, ada pengadilan militer.

Hal yang sama disampaikan oleh Komisi Perwakilan III, Rudianto Lallo. Dia berpikir penempatan Iqbal sebagai sekretaris -jenderal RI sudah memiliki dasar hukum yang kuat. Dia menekankan bahwa MPR dan undang -undang kepolisian nasional telah memberi polisi kesempatan untuk duduk di posisi sekretaris -jenderal di RI.

Rudianto menyatakan bahwa pemukiman Iqbal merujuk pada filosofi Konstitusi Kepolisian Nasional sebagai lembaga publik bersenjata sesuai dengan mandat reformasi kepolisian nasional di MPR Tap Nomor 7 tahun 2000.

“Khususnya memori van Teolichting Tap MPR, memberikan seruan moral polisi nasional untuk melakukan peran pelayanan publik kepada publik dengan karakter publik secara profesional dan sesuai dengan kebutuhan publik,” kata Rudiianto.

Rudiianto juga merujuk pada Pasal 28 paragraf (3) hukum nomor 2 tahun 2002 di polisi, yang menyatakan bahwa personel polisi nasional dapat menjabat di luar polisi setelah pensiun atau mengundurkan diri.

“Namun, tugas aktif juga dimungkinkan jika mereka relevan dengan fungsi polisi dan berdasarkan perintah Kepala Polisi,” katanya.

Menurutnya, berdasarkan interpretasi otentik, ketentuan Pasal 28 (3) hukum dinyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan, ‘luar polisi’ adalah posisi yang tidak ada hubungannya dengan polisi atau tidak berdasarkan tugas Kepala Polisi. Ini adalah artikel Mandat Konstitusi 30 paragraf (4) dari Konstitusi Republik Indonesia 1945 berdasarkan kebutuhan lembaga dan semangat sinergi antara lembaga untuk meningkatkan pencapaian tujuan negara.

“Ini berarti bahwa berdasarkan interpretasi yang sah dari logika hukum Acontrario jika posisi itu terkait dengan tugas dan fungsi polisi dan/atau berdasarkan penugasan Kepala Polisi, itu dapat dilakukan pada petugas polisi tinggi berdasarkan tugas Kepala Kepolisian Nasional dan terkait dengan tugas dan fungsi kepolisian,” katanya.

Rudiianto lebih lanjut menjelaskan bahwa penempatan Iqbal sebagai kepala sekretaris DPD harus sepenuhnya dilihat, baik dalam hal filsafat dan regulasi. Baginya tugas ini bukanlah hal baru.

“Selama tugas -tugas sesuai dengan kebutuhan lembaga dan mendukung sinergi antara lembaga, itu secara hukum valid,” katanya.

Diketahui, sebelum Inspektur Jenderal Iqbal diresmikan oleh Presiden 79/TPA, Kepala Polisi Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan nomor telegram ST/488/III/Kep.

(Ory/Ory)