9 Dampak Perang Bubat Antara Majapahit dan Pajajaran – Sejarah Indonesia

by

Perang Bubat terjadi pada tahun 1279 Saka atau tahun 1357 M pada abad ke-14, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dalam sejarah kerajaan Majapahit. Perang tersebut disebabkan oleh perselisihan antara Gajah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda. Peperangan tersebut terjadi di Pesanggrahan Bubat yang kini menjadi Provinsi Jawa Timur, mengakibatkan tewasnya seluruh suku Sunda. Saat itu Prabu Hayam Wuruk berniat mempersunting putri Prabu Linggabuana, Dyah Pitaloka Citraresmi. Kerajaan Pajajaran pergi ke Majapahit, tetapi dalam perjalanan rombongan mereka dihentikan oleh Gajah Mada yang mengira mereka akan menyerah kepada Majapahit. Karena kesalahpahaman Gajah Mada, pertempuran pun tak terelakkan. Pelajari juga peninggalan sejarah Majapahit yang sedikit banyak bisa membantu mengungkap asal usul nusantara.

Akibat Perang Bubat

  1. Efek dari perang lama masih bisa dirasakan hingga saat ini. Meninggalnya seluruh anggota rombongan kerajaan Pajajaran menyisakan duka mendalam bagi masyarakat Sunda hingga dilarang menikah dengan orang Jawa. Sampai saat ini mitos tersebut masih ada dan diyakini oleh sebagian kecil masyarakat, terutama yang masih tinggal di daerah terpencil. Konon jika hal itu dilakukan, maka perkawinan antara orang Sunda dan Jawa tidak akan harmonis. Raja Linggabuana digantikan oleh Pangeran Niskalawastu Kancana, adik dari Dyah Pitaloka yang tinggal di keraton Kawali dan tidak pergi ke Majapahit. Dialah yang mengeluarkan larangan istri asing yang berisi aturan untuk tidak menikah dengan orang luar dari kerabat Sunda, khususnya pihak Majapahit.
  2. Dampak lain dari perang tersebut adalah tokoh Gajah Mada dan Hayam Wuruk yang tidak disukai masyarakat Sunda, sehingga tidak ada jalan di kawasan Sunda yang diberi nama kedua tokoh tersebut. Begitu pula di bekas kerajaan Majapahit tidak ada jalan Siliwangi atau jalan Pajajaran.
  3. Kegagalan Majapahit menaklukkan Pajajaran juga mengakibatkan dampak perang berupa gagalnya sumpah palapa Gajah Mada. Bahkan orang Sunda menjadi musuh Majapahit dan tidak mau bekerja sama dengan orang Jawa karena mitos kuno yang beredar.
  4. Meskipun Prabu Linggabuana adalah seorang pemimpin yang disegani oleh masyarakat Sunda dan diberi julukan Prabu Wangi karena keberaniannya melawan tentara Majapahit, namun efek perang yang panjang membuat raja yang lebih terkenal muncul sebagai penggantinya. Putra Linggabuana yang tidak ikut rombongan itu kemudian diberi kehormatan menjadi raja bergelar Prabu Siliwangi, yang berarti keturunan raja yang namanya harum. Prabu Siliwangi kemudian tercatat sebagai salah satu raja paling terkenal dalam sejarah Indonesia dan sejarah kerajaan Pajajaran.
  5. Akibat perang saat itu akhirnya merenggangkan hubungan Gajah Mada dengan Hayam Wuruk, karena Dyah Pitaloka pun menjadi korban dan mematahkan hati Hayam Wuruk. Para bangsawan dan pembesar Majapahit menegur Gajah Mada atas tindakannya yang sembrono, terlalu sombong dan tidak mempedulikan perasaan rajanya.
  6. Kedudukan Gajah Mada sejak saat itu mulai merosot di mata Hayam Wuruk akibat perang ini. Hayam Wuruk memberinya tanah di Madakaripura (Probolinggo), yang bisa diartikan sebagai saran halus agar Gajah Mada mulai mempertimbangkan pensiun. Tanah yang terletak jauh dari ibu kota Majapahit ini membuat Gajah Mada mundur dari politik Majapahit. Dapat disimpulkan bahwa Hayam Wuruk tidak lagi terlalu mempercayai Gajah Mada dan tidak bergantung padanya seperti sebelum pertempuran. Sejak kejadian itu, Hayam Wuruk lebih banyak terlibat dalam pemerintahan dan berusaha mengambil keputusan sendiri.
  7. Hayam Wuruk menciptakan sistem pemerintahan baru yang memungkinkan penguasa bertindak langsung, dan meminta pertimbangan dari keluarga dan pejabat senior sebelum mengambil keputusan penting. Ia pun mulai berkeliling ke berbagai kabupaten untuk mengetahui kondisi masyarakatnya.
  8. Masyarakat mulai mengagumi sistem pemerintahan Hayam Wuruk yang lebih terbuka, meskipun Gajah Mada masih menjabat sebagai mahapatih namun kekuasaannya tidak lagi sebesar dulu.
  9. Hubungan kedua negara juga tak pernah pulih sejak kejadian itu selama bertahun-tahun. Hubungan diplomatik kedua negara diputus oleh Prabu Siliwangi, penerus Raja Linggabuana.

Kesalahan Gajah Mada

Perbuatan Gajah Mada yang menimbulkan dampak perang berabad-abad kemudian didasarkan pada Sumpah Palapa yang diucapkannya sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Dari sekian banyak kerajaan yang pernah diperintah oleh Majapahit, hanya kerajaan Sunda yang tidak pernah diperintah. Karena itu, Gajah Mada meyakinkan Hayam Wuruk untuk menganggap kedatangan rombongan Sunda sebagai bentuk penyerahan diri kepada Majapahit. Hayam Wuruk didesak untuk menerima Dyah Pitaloka sebagai tanda penyerahan kerajaan Sunda dan pengakuan kekuasaan Majapahit atas Sunda.

Raja Linggabuana dan rombongan akhirnya setuju menikahkan puterinya dengan Majapahit karena menurutnya masih ada ikatan persaudaraan antara kedua kerajaan tersebut. Mereka diterima di Pesanggrahan Bubat di provinsi Majapahit. Mereka hanya membawa beberapa tentara. Ketika Gajah Mada menyampaikan maksudnya, utusan Linggabuana terkejut dan marah serta menolak. Sebelum Hayam Wuruk memberi perintah, Gajah Mada sudah terlebih dahulu mengerahkan pasukannya ke Bubat dan mengancam Linggabuana agar mengakui kekuasaan Majapahit. Perang terjadi karena Linggabuana menolak, dan pertempuran tidak seimbang karena pasukan Linggabuana jumlahnya kecil, hanya terdiri dari pengawal pemerintah, pejabat dan menteri.

Akhir pertempuran sudah bisa ditebak, Raja Sunda dan para pengikutnya tewas. Menurut tradisi, putri Dyah Pitaloka melakukan silat, yaitu bunuh diri demi membela kehormatan bangsanya. Tindakan ini sejalan dengan moral dan nilai-nilai kasta Ksatriya. Wanita dari kasta ksatriya akan bunuh diri jika laki-laki mereka mati untuk mempertahankan kehormatan dan kesucian mereka, menghindari kemungkinan penghinaan, pemerkosaan, pelecehan, atau risiko perbudakan. Pelajari juga sejarah candi Kedaton, candi di Mojokerto dan sejarah candi Jabung.

Upaya Menghilangkan Mitos

Efek perang kuno masih dilestarikan di antara orang-orang karena diwariskan melalui cerita lintas generasi. Sejarah perang Bubat masih diceritakan dari mulut ke mulut dan hanya ditafsirkan sebagai kesalahan seluruh suku Jawa dan bukan kesalahan yang menyebabkan kematian satu orang saja yaitu Gajah Mada. Meski tidak ada prasasti yang ditemukan tentang perang tersebut, namun cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi cukup membuat sebagian orang percaya. Bahkan bagi sebagian masyarakat Sunda, perang lama itu masih menjadi luka lama dan dapat memicu emosi kolektif masyarakat serta berbahaya karena dapat merenggangkan hubungan antara masyarakat Jawa dan Sunda.

Untuk menghilangkan mitos tersebut dan menghindari perpecahan, pemerintah mengambil langkah nyata dengan meresmikan nama jalan di kawasan Jalan Lingkaran DIY pada 3 Oktober 2017. Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan bersama-sama dengan Gubernur Jawa Timur adalah para kepala daerah yang meresmikannya. Di jalan-jalan yang mengelilingi Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat nama Jalan Siliwangi, Jalan Pajajaran, Jalan Majapahit dan Jalan Brawijaya. Dengan diresmikannya nama-nama jalan tersebut diharapkan dapat mematahkan mitos tentang hubungan masyarakat Jawa dan Sunda serta perlahan-lahan melepaskan diri dari mitos perang zaman dulu.