Berita Sejarah Haji Jalur Laut di Indonesia

by
Berita Sejarah Haji Jalur Laut di Indonesia


Jakarta, Pahami.id

Wacana tentang kepergian jemaat Haji Dan Umrah Melalui rute RE -Sea setelah Menteri Agama Nasaruddin Umar mengungkapkan diskusi dengan pemerintah Saudi. Namun, kesadaran akan wacana ini masih menunggu untuk menyelesaikan fasilitas pelabuhan di Jeddah.

Rencana tersebut mengingatkan sejarah panjang ziarah Indonesia bahwa di masa lalu dilakukan oleh laut. Sebelum transportasi udara dikembangkan, para peziarah dari tanah air mereka mengambil perjalanan panjang ke Tanah Suci dengan perahu berlayar, dan kemudian kapal uap.

Dilaporkan pada saat ini, ziarah melalui laut membutuhkan waktu hingga lima hingga enam bulan, tergantung pada cuaca dan musim angin.


Menurut sebuah laporan tentang implementasi Hindia Haib Haji sejak liberalisasi Depresi Ekonomi Fauzan Bihaqi, sebuah perahu layar yang membawa peziarah sering dipengaruhi oleh badai dan gelombang yang tinggi. Keberangkatan tercepat dilakukan pada bulan -bulan awal Jumat, sekitar tujuh bulan sebelum puncak ziarah.

Catatan perjalanan Abdullah Kadir al-Munsyi pada tahun 1854 mengatakan pengiriman dari Singapura ke Jeddah bisa memakan waktu tiga bulan. Namun, dari port Batavia lebih lama karena sejumlah besar transit dan kapal.

Secara umum, ziarah mengambil jalan yang sama dengan rute perdagangan. Banyak kapal layar pada waktu itu juga berfungsi sebagai pedagang. Selama abad ke -19, metode ini masih digunakan, meskipun tidak cukup karena jumlah penyembah meningkat.

Perubahan besar terjadi setelah pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869. Pada tahun 1873, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai menggunakan kapal uap untuk berangkat dari haji.

Dalam historiografi Haji Indonesia oleh M. Shaleh Putuhana disebutkan, kapal -kapal itu diharuskan berhenti di Stasiun Karantina Laut Merah, dengan periode pemisahan tiga hingga lima hari tergantung pada status epidemiologis wilayah jemaat.

Data dari Conseil Superieur de Sante di Konstantinopel pada tahun 1914 menyatakan bahwa Surabaya dan Singapura diklasifikasikan sebagai terinfeksi pasta, sementara Semarang dan Batavia diduga memiliki wabah. Kapasitas stasiun karantina sering tidak memadai, bahkan para peziarah telah dipindahkan ke Toor, Mesir.

Selama Perang Dunia I, Stasiun Karantina tidak beroperasi, sehingga para peziarah Indonesia tidak hadir untuk memenuhi ziarah. Hanya setelah tahun 1923, karantina itu kembali dilakukan di Jeddah di bawah otoritas Inggris.

Setelah proses karantina, jemaat melanjutkan perjalanannya ke Yalamlam untuk mengambil Miqat. Banyak yang juga memakai ihram di jeddah. Kapal umumnya tiba di Jeddah di ujung Zulkaidah.

Pengembangan infrastruktur di awal abad ke -20 memungkinkan para peziarah dari Jawa Barat untuk berangkat melalui pelabuhan Tanjung Priok. Data menunjukkan peningkatan yang signifikan, dari 5.987 penyembah pada tahun 1912 menjadi 8.632 penyembah pada tahun 1913.

Bepergian dengan kapal uap dari Batavia ke Jeddah membutuhkan waktu antara 19 dan 49 hari, lebih cepat dari kapal pesiar. Namun, jumlah proses keberangkatan dan pengembalian masih memakan waktu sekitar enam bulan.

Beberapa kelompok bahkan berangkat selama Ramadhan atau Syaban, dan tiba di Jeddah mendekati bulan Shawwal. Peziarah yang jarang merayakan Idul Fitri dan Idul Fitri di Mekah.

Sayangnya, kondisi kapal tidak selalu tepat. Pada tahun 1912, arsip Haji yang dicatat di Arsip Nasional Republik Indonesia, dari 18.535 penyembah, 2.634 meninggal. Jumlah itu meningkat pada tahun berikutnya menjadi 3.158 dari 26.321 peziarah.

Sebelum pemerintah kolonial diatur, peziarah Indonesia sering naik VOC atau kapal Inggris ke India atau Aden Bay. Pada tahun 1912-1913, pemerintah kolonial membutuhkan penggunaan kapal yang dimiliki oleh saham tiga dari pelabuhan Belanda Hindia, seperti Tanjung Priok, Padang dan Singapura.

Selanjutnya, pemerintah Hindia Timur Belanda membuka peluang bagi perusahaan lain untuk mengangkut peziarah. Jumlah peziarah juga meningkat secara dramatis. Pada tahun 1921, 23.665 peziarah meninggalkan Tanjung Priok, 5.310 dari lapangan, dan sisanya dari pelabuhan lain.

Dilaporkan oleh Kementerian Agama, pada 1950 -an musim haji setelah pengakuan kedaulatan, pemerintah Indonesia mengirim 9.907 peziarah menggunakan kapal dengan kapasitas 10.000 penumpang.

Tahun berikutnya, menteri agama pada waktu itu Wahid Hasjim kembali meluncurkan wacana lama: Indonesia memiliki ziarah sendiri. Upaya untuk mengumpulkan saham dari peziarah dilakukan, tetapi gagal dan dana itu dikembalikan.

Cita -Cita hanya direalisasikan pada 1960 -an, selama Pt. Arafat Cruise didirikan. Perusahaan ini adalah hasil dari kerja sama Muslim dan pemerintah yang diprakarsai oleh Presiden Soekarno, dengan tokoh -tokoh nasional seperti Letnan Jenderal Hm Muljadi Djejomartono, Kepala Nasution Ali Sadikin, dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai pendirinya.

Pada tahun 1965, pt. Pelayaran Arafat membeli tiga kapal untuk mengangkut peziarah. Pada saat itu, proposal untuk mengadakan ziarah melalui udara ditolak oleh pemerintah.

Sayangnya, perusahaan mengalami manajemen keuangan dan masalah keuangan di tengah lonjakan jumlah peziarah. Sekitar tahun 1976, pt. Pelayaran Arafat dinyatakan bangkrut. Pemerintah kemudian memutuskan untuk menghentikan transportasi jemaat melalui laut pada tahun 1979.

Sejak itu, semua peziarah Indonesia telah dikirim dengan pesawat.

Baca berita lengkapnya Di Sini.

(Kay/dal)