Berita Momen Demonstran Curhat ke Pusat Kajian FH UGM soal Kericuhan Semarang

by


Sleman, Pahami.id

Sejumlah perwakilan Aksi Kamisan Semarang dan Gerakan Rakyat menggugat (MARAH) mengeluhkan tindakan represi dan juga dugaan penyusupan yang dilakukan polisi selama demonstrasi di kota tersebut semarangJawa Tengah yang dilanda kisruh pada 22 dan 26 Agustus 2024.

Perwakilan Aksi Kamisan dan GERAM dari Semarang mengunjungi Kantor Pusat Fakultas Hukum (FH) UGM di Sleman, DIY, Jumat (30/8).

Fathul Munif dari Aksi Kamisan Semarang mengatakan, aksi pada 22 Agustus itu adalah menolak revisi RUU Pilkada yang diajukan DPR RI. Aksi yang diikuti sekitar dua ribu orang yang mayoritas mahasiswa, termasuk kelompok Kamisan dan GERAM itu berakhir ricuh dan tindakan represif aparat.


Polisi menembakkan gas air mata dan memukuli pengunjuk rasa hingga beberapa pengunjuk rasa harus dirawat di rumah sakit, kata Munif di FH UGM, Jumat.

Pasca aksi tersebut, pada 26 Agustus 2024, massa kembali menggelar aksi unjuk rasa sebagai lanjutan tuntutan masyarakat sipil di Jawa Tengah terhadap rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Diakui Munif, aksi yang semula digelar di Gedung DPRD Provinsi Jawa Tengah itu dipindahkan ke Balai Kota Semarang karena lokasi awal dikepung polisi. Kata dia, jalur mitigasi paramedis yang ikut aksi ditutup dengan kawat berduri, water canon, dan mobil polisi dari berbagai wilayah di luar Kota Semarang.

Aksi kekerasan ini kembali mendapat tindakan opresif dari pihak kepolisian. Polisi secara sewenang-wenang memukuli, menangkap dan menembak secara brutal para pengunjuk rasa dengan peluru karet dan gas air mata. Aksi kekerasan ini dilakukan dengan alasan aksi tersebut bersifat anarkis dan penuh kekerasan, jelas Munif. .

Pendekatan kekerasan yang dilakukan polisi, kata Munif, mengakibatkan sedikitnya 20 pengunjuk rasa dilarikan ke rumah sakit karena sesak napas dan patah tulang. Tak hanya itu, gas air mata yang dikeluarkan petugas juga berdampak pada masyarakat sekitar.

Selain itu, 31 pengunjuk rasa ditangkap dan dibawa ke Polrestabes Semarang. Pada 27 Agustus 2024, mereka dibebaskan, namun ponselnya tetap disita polisi. Ponsel tersebut disita dan berusaha dibuka tanpa izin pemiliknya. GERAM menyebut hal tersebut sebagai pelanggaran karena tanpa surat perintah resmi dan izin pengadilan.

Laporkan dugaan gangguan

Munif menegaskan, para peserta aksi sejak awal memang berniat menggelar aksi damai. Dia mengatakan, keributan terjadi karena penyusup melemparkan sesuatu ke arah garis polisi. Mereka juga mencurigai adanya penyusup yang bukan bagian dari kelompok protes.

Munif mengatakan, banyak saksi yang melihatnya dan keterangannya didukung bukti foto dan video.

“Malam itu kami melihat ada orang yang melempar batu yang kami sangka, lalu teman kami membalas dengan memarahi pelempar tersebut. Kami kemudian mengamankan orang tersebut di belakang agar tidak dilindas massa saat tampil di luar. kesepakatan kita bersama,” katanya.

“Banyak testimoni yang disampaikan kepada kami, banyak teman-teman Undip yang melihatnya secara langsung dan sangat menarik, bukti yang paling jelas adalah bagaimana dia (penyusup) mulai menangkap mahasiswa tersebut dan akhirnya kami temukan di postingan lain bahwa dia sedang berfoto bersama temannya. yang juga polisi, ini bukti yang sangat otentik dan dapat dipercaya,” kata Munif.

Selain untuk melaporkan dugaan pelanggaran yang dilakukan aparat, kunjungan dirinya dan GERAM ke UGM juga untuk mendapatkan dukungan moril dan mendapatkan bantuan hukum sebanyak-banyaknya.

Kepala Pusat Penelitian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) FH UGM, Herlambang Wiratraman mengatakan, apa yang disampaikan Aksi Kamisan Semarang dan GERAM menunjukkan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan aparat.

“Jika dikaji bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam peraturan PBB dan juga bertentangan dengan undang-undang yang mengatur hak asasi manusia termasuk kebebasan berekspresi di muka umum, ditambah dengan Peraturan Irjen Pol itu sendiri,” ujar dosen hukum tata negara itu. .

Herlambang menegaskan pihaknya juga akan mengkaji fakta-fakta yang ada sebelum memutuskan memberikan bantuan khusus bagi terduga pelaku tindak pidana peserta aksi.

Beberapa waktu lalu, Polda Jateng menegaskan penanganan aksi demonstrasi di Semarang sudah sesuai standar operasional dan prosedur atau SOP.

“Kemarin kita terapkan sesuai SOP,” kata Humas Polda Jateng Kompol Artanto, Selasa (27/8).

Artanto menjelaskan, polisi sejak awal sudah mengusir massa aksi yang hendak masuk ke kawasan Balai Kota Semarang. Ada beberapa kejadian saling dorong-dorongan.

Pada pukul 18.00 WIB, polisi mengimbau massa untuk membubarkan diri, namun tidak digubris. Artanto mengaku massa justru melemparkan batu ke arah polisi hingga akhirnya petugas di lapangan mengambil tindakan.

Kendaraan water canon melaju dan menyemprotkan air ke arah massa, namun tetap tidak membuat massa bubar. Aparat akhirnya menembakkan gas air mata dari radius 50 meter.

Para pengunjuk rasa kembali bergerak ke depan Paragon Mall. Mereka dilempari gas air mata lalu dibawa ke Paragon Mall.

“Kami terus berusaha meredamnya, namun karena sudah keterlaluan akhirnya meriam air dan gas air mata dikeluarkan,” kata Artanto.

(anak/anak-anak)