Berita Mary Jane, Vonis Mati dan Jerat Kasus Narkoba Buruh Migran

by

Jakarta, Pahami.id

Indonesia membebaskan terpidana mati asal Filipina karena penyelundupan narkoba Mary Jane Veloso.

Kabar tersebut disampaikan Presiden Filipina, Ferdinand ‘Bongbong’ Marcos Jr melalui akun Instagram resminya pada hari ini, Rabu (20/11). “Mary Jane Veloso pulang,” tulis Bongbong dalam unggahannya.

Bongbong mengatakan Mary akan kembali ke Filipina setelah lebih dari satu dekade melakukan diplomasi Filipina dan bernegosiasi dengan pemerintah Indonesia untuk menunda hukuman matinya.


Profil Mary Jane

Mary Jane Veloso merupakan warga negara Filipina yang lahir pada tanggal 10 Januari 1985. Ia merupakan anak bungsu dari lima bersaudara yang kini berusia 39 tahun.

Di Filipina, Mary tinggal di Kota Cabanatuan, Negara Bagian Nueva Ecija. Di sana, ia hidup bersama keluarganya dalam kemiskinan dan kesedihan.

Mary bahkan menjadi pemulung karena gaji ayahnya, Hacienda Luisita yang hanya bekerja sebagai buruh tetap tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kondisi kehidupan Mary menghalanginya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Konon ia hanya bisa bersekolah sampai kelas 1 SMA karena orang tuanya tidak mampu membiayai sekolahnya.

Setelah lulus sekolah, Mary memutuskan untuk menikah muda. Dari pernikahan tersebut, ia dikaruniai dua orang anak, Mark Daniel dan Mark Darren.

Pada tahun 2009, Mary memutuskan pindah ke Dubai untuk mencari pekerjaan. Saat itu, ia berharap mendapat penghasilan yang cukup untuk memperbaiki keadaan keluarganya yang miskin.

Namun, takdir berkata lain. Tak lama setelah bekerja di Dubai, Mary memutuskan untuk kembali ke Filipina. Sebab, saat itu ia mengalami kekerasan seksual yang dilakukan majikannya.

Bermigrasi ke Malaysia pada tahun 2010

Meski gagal melanjutkan kariernya di Dubai, Mary Jane Veloso tak menyerah. Pada tanggal 18 April 2010, ia menceritakan kepada rekan dekatnya, Ma. Cristina Serio, ada seseorang di Malaysia yang membutuhkan pembantu.

Tanpa berlama-lama, Mary langsung menerima tawaran pekerjaan di Malaysia dari Serio. Ia dan Serio langsung terbang ke Malaysia pada 22 April 2010.

Namun, nasib buruk kembali menimpa Mary. Setibanya di Malaysia, ia diberitahu bahwa lowongan pekerjaan ART yang ditawarkan temannya sepertinya sudah ditutup. Karena lowongan tersebut telah diisi oleh pelamar lain.

Menanggapi hal tersebut, Mary merasa sedikit kecil hati. Pasalnya harapannya untuk mendapatkan pekerjaan saat itu kembali hancur. Selain itu, di Malaysia, Mary juga hanya membawa perbekalan seadanya. Padahal, saat itu ia dikabarkan hanya membawa dua baju dan dua celana.

Meski begitu, Serio sebagai teman dekatnya berusaha menyemangati Mary. Dia meyakinkan Mary bahwa dia akan segera mendapatkan pekerjaan. Bersama Serio, Mary akhirnya harus tinggal di Malaysia selama kurang lebih 3 hari.

Bersambung di halaman berikutnya…

Pada tanggal 25 April, Serio menyuruh Mary mengemasi barang-barangnya. Sebab, saat itu ia menyuruh Mary segera terbang ke Yogya, Indonesia karena ada lowongan kerja di sana.

Awalnya Mary ragu menerima tawaran itu. Sebab, saat itu ia sudah tidak mempunyai uang lagi untuk membeli tiket pesawat ke Yogya. Jangankan uang, bahkan Mary pun kesulitan makan makanan sehari-hari saat itu.

Untungnya, Serio bersedia membantu Mary. Dia ingin meminjami Mary sejumlah uang untuk pergi ke Yogya. Namun, di sinilah letak kesalahan Maria.

Saat itu, Mary ditawari Serio untuk menyelundupkan narkoba ke Indonesia. Karena kondisi perekonomian yang tidak mencukupi, ia menerima tawaran tersebut.

Serio juga memasukkan sejumlah heroin ke dalam koper yang dia berikan kepada Mary. Ia pun memberi Mary sejumlah uang untuk biaya hidup di Yogya

Setibanya di Bandara Yogya, Mary langsung diperiksa petugas karena ada tanda-tanda barang mencurigakan di koper Mary saat pemeriksaan mesin x-ray.

Pada awal pemeriksaan, petugas bandara tidak menemukan barang mencurigakan di dalam koper Mary. Namun, petugas bandara tidak percaya begitu saja. Jadi mereka memeriksa kembali koper Mary.

Benar saja, setelah melakukan penggeledahan mendalam, petugas bandara akhirnya menemukan 2,6 kilogram heroin di dalam koper Mary. Heroin tersebut ditaksir bernilai USD 500 ribu atau setara Rp 7,6 miliar saat itu.

Ditangkap dan ditahan oleh polisi

Akibat penemuan tersebut, polisi Indonesia langsung menangkap dan menahan Mary. Pada 11 Mei 2010, Mary menelepon keluarganya untuk menceritakan situasinya di Indonesia.

“Bu, Ayah, aku sangat menyayangi kalian semua. Aku dipenjara,” ucapnya dalam percakapan telepon saat memberi tahu keluarganya.

Kesalahan serius Mary membuat Indonesia bertindak tegas saat itu. Pengadilan Indonesia memutuskan untuk menjatuhkan hukuman mati padanya.

Pada tahun 2011, Mary sebenarnya mengajukan banding agar hukuman matinya diringankan. Namun, bandingnya ditolak.

Upaya judicial review juga gagal dan pengampunan tersebut ditolak oleh Presiden Jokowi.

Saat itu, Jokowi juga dengan tegas mengatakan Indonesia akan melawan orang atau kelompok yang tergabung dalam organisasi peredaran narkoba. Akhirnya diputuskan dia akan dieksekusi di Pulau Nusakambangan.

Namun lobi yang dilakukan Filipina terhadap Indonesia ternyata berhasil mengurangi hukuman mati. Setelah melakukan lobi selama lebih dari satu dekade, Filipina dilaporkan berhasil mendeportasi Mary.

Tiga syarat dari RI

Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyatakan Mery Jane tidak dibebaskan. Menurutnya, RI hanya mempertimbangkan opsi “pemindahan tahanan”. Filipina, kata dia, juga harus memenuhi syarat tertentu.

“Tidak ada kata bebas dalam pernyataan Presiden Marcos. ‘membawa dia kembali ke Filipina’ artinya membawa dia kembali ke Filipina,” kata Yusril dalam siaran pers, Rabu (20/11).

Sejumlah syarat yang harus dipenuhi Filipina sebagai negara yang mengajukan permohonan pemindahan tahanan, yakni mengakui dan menghormati keputusan akhir pengadilan Indonesia dalam menghukum warganya yang terbukti melakukan tindak pidana di negaranya. wilayah Indonesia.

Kedua, narapidana dikembalikan ke negara asalnya untuk menjalani sisa hukumannya di sana sesuai dengan keputusan pengadilan Indonesia.

Terakhir, biaya transfer dan keamanan selama perjalanan ditanggung oleh negara yang bersangkutan.

“Bahwa setelah kembali ke negaranya dan menjalani hukuman di sana, maka kekuasaan untuk mendidik narapidana beralih kepada kekuasaan negaranya,” kata Yusril.

Yusril mengatakan, Mary Jane kemungkinan besar akan lolos dari hukuman mati jika Presiden Filipina memberikan pengampunan.

“Dalam kasus Mary Jane yang divonis mati di Indonesia, tidak menutup kemungkinan Presiden Marcos akan memberikan grasi dan mengubah hukumannya menjadi penjara seumur hidup, mengingat hukuman mati sudah dihapuskan dalam KUHP Filipina, maka langkah ini berada dalam kekuasaan penuh Presiden Filipina,” katanya.

Yusril menambahkan, Joko Widodo saat menjabat Presiden RI menolak permohonan grasi Mary Jane, baik yang diajukan perorangan maupun pemerintah Filipina.