Berita Korut Larang Mesin Karaoke di Kafe, Warga Protes

by


Jakarta, Pahami.id

Otoritas Korea Utara melarang restoran dan kafe mengoperasikan mesin karaoke karena dianggap sarat dengan nilai-nilai Barat.

Kebijakan ini pun mendapat keberatan dari sebagian warga yang biasa mencari hiburan dengan karaoke.


Seorang warga Provinsi Pyongan Utara menceritakan Radio Gratis Asia (RFA) bahwa pemerintah Korea Utara baru-baru ini memberlakukan larangan makan sambil bernyanyi.

Larangan tersebut diberlakukan karena pemerintah Korea Utara menganggap karaoke sebagai bagian dari invasi budaya ke Korea Selatan yang kerap dituding sebagai rezim boneka Amerika Serikat.

“Pihak berwenang bersikeras bahwa makan sambil bernyanyi dengan mesin karaoke adalah ekspresi budaya Barat yang busuk dan manifestasi budaya boneka,” kata seorang warga yang menolak disebutkan namanya.

“[Oleh sebab itu]restoran yang memproduksi makanan, alkohol, dan pesta dianggap sebagai ‘sarang kapitalisme’,” katanya.

Warga mengatakan, tempat makan yang termasuk dalam kategori tersebut sebaiknya ditutup pada bulan ini.

Pemilik restoran dan pengunjung jelas terkejut dan memprotes. Pasalnya, tidak ada mesin karaoke yang dipasang di restoran termasuk lagu-lagu Korea Selatan atau Barat.

Hanya ada lagu Korea Utara di dalamnya.

Warga tidak bisa memahami kebijakan pemerintah karena karaoke adalah satu-satunya bentuk hiburan yang diperbolehkan di Korea Utara. Pemerintah tidak pernah mengizinkan warganya mendengarkan musik atau menonton film dan acara TV dari Korea Selatan.

Larangan karaoke juga menambah daftar panjang larangan Korea Utara terhadap warganya yang dianggap sarat dengan nilai-nilai kapitalis.

Selama ini Korea Utara melarang warganya menari, mengenakan pakaian tanpa lengan, dan mengubah gaya rambut dengan gaya tertentu.

Menurut Korea Utara, gaya dan aktivitas tersebut tidak mencerminkan nilai-nilai sosialis.

“Beberapa orang keberatan dan mengatakan bahwa ada nyanyian dan tarian dalam kehidupan manusia. Apakah nyanyian lagu-lagu Korea Utara milik kita ‘budaya boneka’?” tanya salah satu warga.

(blq/baca)