Berita Hubungan Kian Retak, Diplomasi Panda China-Jepang di Ujung Tanduk

by
Berita Hubungan Kian Retak, Diplomasi Panda China-Jepang di Ujung Tanduk


Jakarta, Pahami.id

Tradisi diplomatik panda yang telah berlangsung lebih dari setengah abad Cina Dan Jepang terancam berakhir. Dua panda raksasa terakhir yang masih berada di Jepang dijadwalkan kembali ke Tiongkok bulan depan, di tengah memburuknya hubungan diplomatik kedua negara.

Panda kembar berusia empat tahun Xiao Xiao dan Lei Lei akan dipulangkan dari Kebun Binatang Ueno, Tokyo. Keduanya lahir di Jepang, namun sejak awal berada di sana dengan skema pinjaman dan dijadwalkan kembali ke Tiongkok.

Pemulangan tersebut menandai babak baru dalam hubungan Tiongkok-Jepang, memupus harapan para pecinta panda di Jepang. Sebelumnya, empat panda lainnya yang dipelihara di taman margasatwa di Jepang tengah dikirim kembali ke Tiongkok pada Juni lalu.


Upaya Pemerintah Metropolitan Tokyo untuk mendatangkan panda pengganti sejauh ini gagal. Negosiasi dengan Beijing hanya menunjukkan sedikit kemajuan, terutama setelah Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi membuat pernyataan sensitif tentang Taiwan bulan lalu.

Panda telah menjadi simbol persahabatan Tiongkok dengan negara lain selama beberapa dekade. Praktik yang dikenal dengan diplomasi panda ini diyakini dimulai pada Dinasti Tang pada abad ke-7, ketika Tiongkok mengirim dua ‘beruang putih’ ke Jepang.

Mengutip South China Morning Post, tradisi tersebut dihidupkan kembali pada tahun 1950-an dan mencapai puncaknya pada tahun 1972, ketika Tiongkok mengirim sepasang panda ke Tokyo untuk menandai normalisasi hubungan diplomatik setelah Perang Dunia II.

Ketika hubungan membaik, jumlah panda di Jepang terus meningkat. Jepang bahkan pernah menjadi negara dengan jumlah panda terbanyak di dunia, yakni mencapai sembilan.

[Gambas:Video CNN]

Namun segalanya kini telah berubah. Dylan Loh, seorang profesor di Universitas Teknologi Nanyang Singapura, mengatakan repatriasi panda-panda tersebut mencerminkan tekanan diplomatik yang lebih luas dari Beijing terhadap Tokyo.

Menurut Loh, pernyataan Takaichi yang menyebutkan kemungkinan keterlibatan militer Jepang jika Taiwan diserang memicu serangkaian reaksi dari China. Beijing kembali memberlakukan larangan impor makanan laut Jepang, mengeluarkan peringatan perjalanan bagi warganya, menangguhkan pemutaran film Jepang, dan membatalkan pertunjukan artis asal Negeri Sakura.

“Pemulangan panda hanyalah salah satu dari serangkaian tindakan diplomatik, ekonomi, dan militer yang diterapkan Tiongkok terhadap Jepang,” kata Loh.

Meski Tokyo berusaha melunakkan pernyataannya, Beijing menilai langkah tersebut tidak cukup. Loh menilai tekanan tersebut kemungkinan besar tidak akan meningkat drastis, namun juga tidak akan mereda dalam waktu dekat.

Ketegangan atas Taiwan memang menjadi isu sensitif. Tiongkok menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan tidak menutup kemungkinan penggunaan kekuatan militer. Jepang, meski tidak mengakui Taiwan sebagai negara merdeka, menentang segala upaya penyatuan paksa.

Ini bukan pertama kalinya konflik politik mempengaruhi pertukaran panda. Pada tahun 2012, Tiongkok membatalkan rencana pengiriman panda ke Sendai di tengah perselisihan mengenai Kepulauan Diaoyu atau Senkaku.

Namun diplomasi panda tidak berhenti sepenuhnya di panggung global. Tiongkok baru-baru ini setuju untuk mengirim sepasang panda ke Prancis pada tahun 2027, setelah kunjungan Presiden Emmanuel Macron ke Beijing.

Amerika Serikat juga menyambut baik kedatangan panda di Washington setelah diancam menjadi negara tanpa panda.

Di Jepang, harapan terus diungkapkan. Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Minoru Kihara menekankan kecintaan masyarakat Jepang terhadap panda.

“Pertukaran melalui panda telah berkontribusi pada peningkatan sentimen publik antara Jepang dan Tiongkok. Kami berharap hubungan ini dapat terus berlanjut,” kata Kihara.

Namun saat ini, masa depan diplomasi panda di Jepang terlihat semakin tidak pasti, seiring dengan berkembangnya bayangan geopolitik di Asia Timur.

(sels/sel)