Berita Dubes RI Ungkap Pemicu Kerusuhan di Inggris yang Targetkan Muslim

by


Jakarta, Pahami.id

Duta Besar Republik Indonesia untuk Bahasa inggris Desra Believe membeberkan alasannya agitasi yang terjadi baru-baru ini dan menyasar komunitas minoritas Muslim di negeri ini.

Dalam sebuah wawancara dengan Pahami.id Pada Senin sore (5/8), Desra menyebut kelompok sayap kanan ekstrem Inggris-lah yang menyebabkan kerusuhan dengan menyebarkan rumor.


Kerusuhan Inggris dipicu oleh insiden penikaman massal di Southport, Merseyside, pada akhir Juli lalu. Insiden tersebut menewaskan tiga anak dan melukai 10 lainnya.

Hingga saat ini, polisi telah menangkap pelaku namun menyembunyikan identitasnya. Pelaku dilaporkan seorang remaja berusia 17 tahun.

Pertama, hukum di Inggris tidak boleh mengungkapkan identitas anak karena pelaku masih berusia 17 tahun, kata Desra.

Rakyat Inggris sangat marah dengan tindakan ini. Puncak kemarahan warga terjadi ketika rumor di media sosial menyebutkan bahwa pelaku penikaman adalah seorang pendatang beragama Islam.

“Jadi dari situ terjadi kekosongan dan kelompok ekstrim kanan memanfaatkan fakta bahwa orang-orang (pelaku) tersebut adalah umat Islam dan pendatang,” kata Desra.

Narasi ini kemudian tersebar luas di media sosial dan semakin menyulut kemarahan masyarakat.

Desra kemudian berkata, “Dan faktanya salah. Bukan hanya informasi yang salah tapi informasi yang disengaja.”

Bagaimana Islamofobia di Inggris?

Mantan Direktur Jenderal Kawasan Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri Indonesia ini pun menjawab pertanyaan apakah Islamofobia tinggi di Inggris.

Di Inggris, kata dia, ada berbagai faktor yang memunculkan Islamofobia.

“Pertama, terjadi pergantian pemerintahan dari Konservatif ke Partai Buruh,” kata Desra.

Partai Konservatif condong ke kanan, sedangkan Partai Buruh condong ke tengah dan kiri.

“Yah, ada semacam ketidakpuasan,” kata Dubes lagi.

Ia juga menambahkan, keputusan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa dan perang Rusia-Ukraina juga menjadi faktornya. Dua hal inilah yang menyebabkan perekonomian Inggris melambat.

“Nah, di masa-masa sulit ekonomi ini, sayap kanan [sayap kanan] Populis menggunakan isu Islamofobia dan anti-imigran untuk menarik pemilih,” kata Desra.

“Bagaimanapun, pemilu baru saja berlangsung di sini dan pemenang pemilu adalah Partai Buruh, yang jelas tinggal sedikit lagi,” imbuhnya.

Inggris, lanjut Desra, juga kesulitan membatasi sejauh mana kebebasan berpendapat.

Kebebasan berpendapat di negara-negara demokrasi, khususnya di Eropa, seringkali menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, upaya untuk menggunakan kebebasan justru dapat merugikan kelompok tertentu.

“Sekali lagi, kebebasan ada batasnya. Nah, sepertinya Inggris masih kesulitan menentukan batasannya,” ujarnya.

Inggris berada dalam kekacauan setelah orang-orang melakukan protes dan menyerang masjid menyusul penikaman massal di Southport.

Protes kemudian terjadi di Southport. Mereka melemparkan batu bata ke masjid.

Protes kemudian menyebar ke kota-kota lain seperti Liverpool dan kota-kota di Irlandia.

Di Belfast, Irlandia Utara, pengunjuk rasa melemparkan kembang api di tengah ketegangan antara kelompok anti-Islam dan demonstrasi anti-rasisme.

Kota di timur laut Inggris, Sunderland, pun tak luput dari kerusuhan. Massa membakar mobil, kantor polisi, menjarah toko-toko dan menyerang masjid.

(isa/rds)