Jakarta, Pahami.id —
Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia (Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) mendapat informasi tentang seorang tuna rungu bernama Naufal Athallah yang diminta melepas alat bantu dengar (ABD) saat mengikuti ujian tertulis berbasis komputer (UTBK) Pemilu Nasional pada 14 Mei.
Direktur Jenderal HAM Dhahana Putra menyayangkan tindakan penerbitan ABD. Sebab, menurutnya penggunaan ABD bukan bertujuan untuk melakukan kecurangan dalam ujian masuk perguruan tinggi.
“Pencopotan ABD Adinda Naufal dapat kami katakan tidak sejalan dengan komitmen dan semangat pemerintah untuk memajukan pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia kepada rakyatnya.
penyandang disabilitas dalam dunia pendidikan Tanah Air,” kata Dhahana dalam keterangan media, Minggu (23/6).
Dhahana menjelaskan, Indonesia merupakan negara pihak dalam Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) yang berkewajiban mendorong penerapan sistem pendidikan inklusif.
“Larangan penggunaan ABD membatasi akses penyandang disabilitas rungu untuk memperoleh hak pendidikan yang setara dan inklusif,” ujarnya.
Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan berbagai peraturan lainnya, lanjut Dhahana, pemerintah terus berupaya meningkatkan pemenuhan hak asasi manusia bagi penyandang disabilitas.
Salah satu bentuk upaya pemerintah adalah dengan memasukkan penyandang disabilitas sebagai kelompok sasaran dalam Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia.
Meski demikian, diakui Dhahana, masih terdapat beberapa tantangan teknis dalam pemajuan pemenuhan hak asasi penyandang disabilitas.
Pasalnya, pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas di sektor publik, termasuk dunia pendidikan, tentunya berkaitan dengan anggaran dan tingkat pemahaman terhadap hak-hak penyandang disabilitas.
“Apa yang menimpa saudari Naufal tentu menjadi keprihatinan kami dan kami akan menghubungi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi agar kejadian serupa tidak terulang kembali,” kata Dhahana.
Ia menambahkan, apa yang menimpa Naufal menunjukkan masih adanya masyarakat yang belum memahami hak asasi manusia bagi penyandang disabilitas. Oleh karena itu, ia memandang penting untuk menyebarkan hak asasi manusia terkait penyandang disabilitas ke berbagai lapisan masyarakat, termasuk di dunia pendidikan.
“Langkah ini penting untuk dilakukan agar berbagai elemen dunia pendidikan termasuk penyelenggara UTBK dapat memiliki kesadaran yang lebih baik mengenai pendidikan.
inklusi dan penghormatan terhadap hak-hak penyandang disabilitas,” kata Dhahana.
Saat ini, Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia sedang membangun kerja sama dengan sejumlah sekolah dan siswa SMA sederajat di Jakarta yang tergabung dalam Komunitas Remaja Pelajar Cinta Hak Asasi Manusia (Koppeta HAM) dalam menggencarkan pemahaman tentang hak asasi manusia, antara lain hak asasi Manusia. penyandang disabilitas di kalangan remaja.
Harapannya, dengan menumbuhkan kesadaran hak asasi manusia sejak kecil kita dapat menciptakan pendidikan yang inklusif dan adil untuk semua, kata Dhahana.
Seperti dilansir berbagai media massa, Naufal Athallah (18) harus mengubur mimpinya untuk kuliah di Universitas Indonesia (UI).
Naufal mendapat kendala saat diminta pengawas ujian untuk melepas ABD. Ia mengaku tidak mendengarkan instruksi panitia sebelum UTBK berlangsung, dan kehilangan fokus saat mengikuti ujian.
(kanan/sfr)