Berita Cipta Kondisi All Istana’s Men Bikin Pilgub Jakarta Lebih Adem

by


Jakarta, Pahami.id

Direktur Eksekutif Trias Politika Agung Baskoro menilai ada dugaan penciptaan kondisi yang menyebabkan hal itu terjadi pemilihan gubernur jakarta pada Pilkada Serentak 2024 lebih dingin dari sebelumnya.

Agung meyakini hal tersebut karena melihat para kontestan Pilgub Jakarta 2024 semuanya memiliki ikatan dengan Istana Kepresidenan.

“Pilkada kali ini terasa dingin, karena yang mencalonkan diri adalah orang-orang yang punya ikatan kuat dengan Istana atau Semua Pria Istana,” kata Agung saat dihubungi CNNIndonesia.comJumat (11/10).


Tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur bersaing di Pilgub DKI Jakarta 2024. Ketiga pasangan calon tersebut adalah Ridwan Kamil-Suswono, Pramono Anung-Rano Karno, dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana.

Agung menjelaskan, pasangan Ridwan Kamil-Suswono merupakan bagian dari koalisi besar partai pendukung presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Prabowo dan Gibran yang merupakan putra sulung Presiden Jokowi akan dilantik menjadi anggota MPR pada 20 Oktober mendatang.

Sementara itu, Pramono Anung memiliki hubungan yang kuat dengan Presiden Jokowi karena ia menjabat sebagai Sekretaris Kabinet selama hampir dua periode pemerintahannya.

Bahkan, kata dia, hubungan Pramono dengan presiden terpilih juga bersinggungan karena dialah yang menjadi jembatan komunikasi antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Prabowo.

Jadi Mas Pram sebenarnya dekat dengan Pak Prabowo, kata Agung.

Sementara Dharma Pongrekun, lanjut Agung, juga memiliki keterkaitan yang kuat dengan Istana karena pernah menjadi Wakil Kepala BSSN 2019-2021 pada masa pemerintahan Jokowi. Selain itu, Dharma Pongrekun merupakan purnawirawan Polri dengan pangkat akhir komisaris jenderal atau jenderal bintang tiga.

Ya, kami tahu polisi punya hubungan yang sangat kuat dengan Istana, kata Agung.

Agung mengatakan, kondisi tersebut tidak lepas dari langkah ‘menciptakan kondisi’ untuk menyatukan peralihan pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo di tingkat nasional yang juga berdampak di tingkat lokal.

Alhasil, situasi ini berdampak pada berlangsungnya Pilkada Jakarta yang tenang dan kondusif belakangan ini.

“Karena dia menginginkan transisi [pemerintahan pusat] Nggak ada riak yang terlalu besar ya Pak Prabowo. Jadi ini mengikuti ekspektasi elite. Penguatan nasional kondusif, penguatan lokal juga kondusif. “Dalam bahasa Orde Baru yang lama, ‘prakondisikan dan ciptakan kondisi’,” ujarnya.

Berbeda dengan tahun 2017

Di sisi lain, Agung menyebut Pilkada Jakarta 2017 berlangsung panas karena ada kubu oposisi yang diwakili Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Pasangan ini menghadapi kubu pro pemerintah yang diwakili Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat.

Saat itu Anies-Sandi didukung Gerindra dan PKS yang masih menjadi partai politik oposisi pemerintahan Jokowi.

Sedangkan Ahok-Djarot didukung koalisi Golkar, PDIP, NasDem, Hanura yang merupakan koalisi pemerintahan Jokowi.

“Siapa Pak Ahok?dikonfirmasi PDIP dengan koalisi Istana saat itu. Dan Pak Ahok waktu itu adalah teman Pak Jokowi ya tahun 2017. Jadi konflik dari sisi kelembagaan dari atas terlihat jelas, kata Agung.

Akibatnya, konflik antara oposisi dan aliansi menyebabkan pandangan kedua partai kerap berbeda pendapat dan memanas saat kampanye.

“Kalau kampanye, ada yang menentang reklamasi, ada yang mendukung reklamasi. Ada yang bicara naturalisasi, ada pula yang bicara normalisasi. Pokoknya ada beda lho. Ada yang bilang penistaan, ada yang bilang bagian toleransi, seperti itu ya,” ujarnya.

Ketatnya persaingan pada Pilkada Jakarta 2017 lalu, lanjut Agung, juga menjalar hingga Pilpres 2019 ketika Prabowo kembali berhadapan dengan Jokowi.

Dan kemudian mereda setelah Pak Prabowo bergabung dengan pemerintahan Pak Jokowi, ujarnya.

(rzr/anak)