Jakarta, Pahami.id —
Dalam waktu dua bulan, Israel bunuh pemimpinnya Hizbullah Hassan Nasrallah di Lebanon dan bosnya Hamas Ismail Haniyeh di Iran.
Nasrallah tewas dalam serangan udara di Beirut pekan lalu. Sementara itu Haniyeh terbunuh dalam operasi yang diduga direncanakan Israel di Teheran pada bulan Juli.
Kematian dua pemimpin milisi yang menyerang Israel secara agresif telah memberikan keunggulan bagi pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di tengah kritik dunia atas agresi brutalnya terhadap Palestina yang kini mulai menyebar ke Lebanon dan Yaman.
Lantas, apakah kematian pemimpin milisi ini benar-benar membawa kemenangan bagi Israel di Timur Tengah?
Pengamat Hubungan Internasional (HI) dari Universitas Indonesia, Sya’roni Rofii mengatakan, tewasnya dua pemimpin kelompok perlawanan tersebut merupakan sebuah prestasi bagi Israel.
Tentu bagi Israel ini merupakan prestasi tersendiri karena mampu menyingkirkan pemimpin berpengaruh Hizbullah dan Hamas, kata Sya’roni. CNNIndonesia.comSenin (30/9).
Pengamat HI dari kampus yang sama, Yon Machmudi, berpendapat serupa.
Ia menilai kematian dua pemimpin milisi yang menentang Israel merupakan “kemenangan” bagi mereka.
“Tampaknya Israel yakin akan memenangkan perang dengan membunuh para pemimpin kelompok milisi perlawanan yang berafiliasi dengan Iran,” kata Yon.
Namun, Yon juga melihat ada keinginan lain dari Israel untuk memperluas perang ke Lebanon sementara agresi di Gaza masih berlangsung.
Sebenarnya yang terjadi adalah Israel terus berupaya mengalihkan perang di Gaza ke wilayah di luar Palestina, ujarnya.
Israel, lanjut Yon, berharap mendapat dukungan dari negara-negara di Eropa dan Amerika terkait ancaman regional dari Iran dan milisinya.
Setelah Haniyeh terbunuh, Iran berjanji akan membalas Israel. Namun hingga saat ini sumpah tersebut belum terealisasi.
Ancaman Iran bukan sekedar pembicaraan. Mereka menyerang Israel langsung dengan ratusan rudal pada April lalu. Jawaban ini merupakan respons setelah tentara Zionis mengebom fasilitas diplomatik mereka di Suriah.
Milisi di Lebanon dan Houthi di Yaman juga terus menyerang wilayah Israel.
Israel tentu saja ragu-ragu dan memperluas perang ke Lebanon dalam upayanya meraih simpati dan dukungan dari Barat.
Negara-negara Barat termasuk sekutu dekatnya, Amerika Serikat, yang terus membela Israel, juga kerap memperingatkan Tel Aviv dan kerap marah karena Netanyahu melanggar batas.
Israel terus menyerang warga sipil dan objek sipil di Gaza. Hingga saat ini, lebih dari 42 ribu orang di Palestina tewas akibat invasi Zionis.
Selain itu, Israel juga menargetkan para pemimpin milisi yang mengganggu di dalam dan sekitar negara-negara Zionis seperti Irak, Suriah, dan Yaman.
“Ini termasuk para pemimpin Houthi di Yaman. Saya kira ini adalah target mereka,” kata Yon
Sasaran Israel seperti itu, lanjut Yon, kemungkinan besar akan memperluas konflik dan semakin mengkhawatirkan dunia.
Siap membalas dendam
Keberhasilan Israel membunuh Nasrallah dan Haniyeh menjadi api baru di dada anggota kelompok oposisi ini.
Sya’roni menilai serangan Israel “memicu balas dendam baru” dari milisi.
Hizbullah juga tidak akan takut atau tunduk kepada Israel setelah Nasrallah terbunuh, menurut Yon.
“Bahkan, semangat perlawanan semakin kuat. Saya kira sebaliknya, akan ada pembalasan yang lebih kuat,” ujarnya.
Senada dengan pantauan Yon, Hizbullah juga berjanji akan membalas serangan Israel.
Namun mereka tidak mengungkapkan skala dan jenis operasi yang akan digunakan melawan pasukan Zionis.
Yon kemudian menduga milisi di sekitar Israel akan mengintensifkan serangannya terhadap Israel.
“Dan termasuk Iran sendiri, akan semakin melancarkan serangan terhadap Israel karena menganggap posisi Israel lemah dan bisa mengalahkan Israel,” imbuhnya.
Jika Iran melakukan intervensi, maka ada potensi Amerika Serikat untuk melakukan intervensi. Dan inilah yang diinginkan Israel.
Serangan gabungan Israel dengan milisi tersebut akan terus berlanjut dan mengganggu stabilitas dan perdamaian di Timur Tengah.
Pengamat HI dari UI menekankan, masyarakat internasional perlu segera bertindak untuk mendamaikan situasi di Timur Tengah.
“Keduanya tidak bisa saling berdamai jika tidak ada intervensi dari dunia internasional,” kata Yon.
(isa/bac)