Jakarta, Pahami.id —
Ada dua kasus pembunuhan yang terlibat mutilasi Hal yang menghebohkan masyarakat terjadi di wilayah Jawa Barat dalam dua bulan terakhir.
Kasus pertama terjadi di Desa Sindangjaya, Kecamatan Rancah, Kabupaten Ciamis pada awal Mei lalu. Korban diketahui bernama perempuan bernama Yanti dan pelaku adalah Tarsum, suami korban.
Tak hanya menghabisi nyawa istrinya, Tarsum bahkan membawa jenazahnya yang dimutilasi keliling desa.
Kapolres Ciamis AKBP Akmal mengatakan, berdasarkan keterangan saksi, aksi pembunuhan disertai mutilasi ini bermula saat terjadi adu mulut antara pelaku dan istrinya. Keduanya disebut keluar rumah dan terjadi adu mulut sekitar 30 meter dari rumah.
“Korban baru pertama kali dipukul. Di sana juga dimutilasi,” kata Akmal.
Tarsum langsung ditangkap usai kejadian dan dilakukan penyelidikan. Polisi juga telah menetapkan Tarsum sebagai tersangka dan menangkapnya.
Namun berdasarkan hasil pemeriksaan kejiwaan, dokter menyatakan Tarsum perlu dirujuk dan dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Jawa Barat di Cisarua, Kabupaten Bandung Barat.
Meski demikian, Kasatreskrim Polres Ciamis AKP Joko Prihatin mengatakan, proses hukum akan tetap berjalan setelah Tarsum selesai menjalani perawatan.
“Sementara dia ditahan. Nanti diperiksa lagi kalau sudah sehat,” ujarnya.
Akhir Juni lalu, Minggu (30/6), giliran masyarakat Desa Bantar Limus, Desa Sancang, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, yang dikejutkan dengan ditemukannya beberapa bagian tubuh manusia yang dimutilasi. Korban diperkirakan seorang laki-laki.
Sedangkan jenazah korban dipotong menjadi dua bagian dan tergeletak di pinggir Jalan Cibalong, kata Kabid Humas Polres Garut Iptu Adi Susilo.
Di hari yang sama, polisi berhasil menangkap pelaku. Namun polisi belum mengungkap identitas pelaku karena proses penyelidikan masih berlangsung.
Tersiar kabar bahwa pelakunya adalah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Namun hal tersebut masih akan didalami lebih lanjut dengan melakukan pemeriksaan psikologis terhadap pelaku.
“Jika kita Tidak berani mengambil keputusan apakah ODGJ atau tidak. “Pihak rumah sakit akan mengambil keputusan setelah diperiksa oleh psikiater,” ujarnya.
Hingga saat ini, polisi belum mengungkap identitas korban pembunuhan dan mutilasi tersebut.
Psikolog Forensik Reza Indragiri berpendapat, pelaku pembunuhan disertai mutilasi permanen harus dituntut secara hukum, meski yang bersangkutan menderita Gangguan Jiwa (ODGJ).
Seharusnya, kalaupun pelakunya ODGJ, proses hukum tetap berjalan sampai ke pengadilan. Hakim, bukan polisi, yang berhak menerima atau menolak penilaian terkait ODGJ. Hakim juga yang memerintahkan pelaku menjalani perawatan, katanya. dikatakan. Reza saat dikonfirmasi, Senin (1/7).
Sebaliknya, kata Reza, ODGJ bisa melakukan pembunuhan dan mutilasi karena terinspirasi oleh sesuatu. Namun hal ini tidak dapat dijelaskan secara rasional.
“Bisa jadi begitu, sebagai kejahatan peniru. “Tetapi kembali ke poin pertama, ODGJ menghilangkan penjelasan rasional sebab akibat,” ujarnya.
Sementara itu, kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala mengatakan, seorang ODGJ yang menjadi penjahat tidak mudah untuk dimintai pertanggungjawaban.
Padahal, kata Adrianus, saat ini banyak ahli yang melakukan kajian mengenai bentuk pertanggungjawaban ODGJ sebagai pelaku pidana.
“Arah kajiannya lebih pada bentuk pertanggungjawaban pelakunya. Ada yang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban sama sekali. Ada yang dianggap bertanggung jawab tapi tidak bisa dihukum. Ada yang harus ke RSJ dulu sebelum dihukum dan sebagainya,” dia berkata.
(Des/Senin)