Berita Walhi Sindir Transisi Energi Palsu Legalkan Deforestasi

by
Berita Walhi Sindir Transisi Energi Palsu Legalkan Deforestasi


Jakarta, Pahami.id

Forum Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia untuk Lingkungan Hidup (Walhi) meminta pemerintah Indonesia menghentikan praktik transisi energi palsu yang melegalkan deforestasi.

Himbauan ini disampaikan Walhi bersamaan dengan momentum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) iklim atau Konferensi partai Pertemuan ke-30 (COP) diadakan di Belém, Brasil pada minggu ini.

Selain itu, Walhi mendesak pemerintah untuk mengakui sepenuhnya peran masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai penjaga ekosistem negara yang paling penting.


Manajer Kampanye Taman dan Hutan Nasional Walhi, Uli Arta Siagi, mengatakan COP30 harus menjadi titik balik diplomasi iklim global.

“Daya tarik utama konferensi ini bukan lagi janji-janji baru, melainkan implementasi yang cepat, nyata, dan masif.

Uli menjelaskan laporan terbaru W.Alhi y‘Melegitimasi’ krisis iklim: deforestasi sistematis atas nama transisi energi di Indonesia ‘mengungkapkan bahwa sekitar 26,68 juta hektar kawasan hutan Indonesia berada di bawah tekanan izin industri ekstraktif, seperti PBPH (Izin Usaha Sektor Kehutanan)

Luas tersebut, kata dia, setara dengan 25,6 persen dari total luas hutan lindung nasional.

Disebutkannya, jika seluruh kawasan ini dibuka untuk mendukung proyek transisi energi, jelas Uli, Indonesia berpotensi melepas lebih dari 9 miliar ton setara karbon dioksida (CO₂E) ke atmosfer.

Angka tersebut, lanjut ULI, setara dengan kumulatif emisi sektor energi selama 25 tahun terakhir.

Komunitas adat dan Cuci hijau

Uli menyatakan temuan ini menunjukkan bahwa proyek transisi energi yang sedang dilaksanakan pemerintah Indonesia antara lain kendaraan listrik, pembangkit listrik tenaga panas bumi (panas bumi), pembakaran biomassa dan bioenergi secara bersamaan justru mendorong deforestasi besar-besaran.

Mengandalkan hutan dan lahan sebagai sumber daya transisi energi, katanya, telah mengaburkan tanggung jawab sektor energi untuk secara langsung mengurangi emisi.

Kemudian strategi mitigasi yang bergantung pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Kehutanan dan penggunaan lahan lainnya/Folu) sebagai penyeimbang terhadap emisi fosil juga dianggap tidak mencukupi dan berisiko meningkatkan praktik tersebut cucian hijau

Cuci hijau adalah praktik manipulatif yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau organisasi untuk secara tidak jujur ​​menciptakan citra ramah lingkungan.

Walhi juga mengkritik pernyataan para pemimpin dunia, termasuk Indonesia, yang menyatakan bahwa masyarakat adat dan komunitas lokal adalah aktor utama dalam menjaga iklim dan menjadi pusat solusi.

Dalam siaran pers yang sama, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah Bayu Herinata menilai pernyataan tersebut hanya pesan kosong karena tidak diikuti dengan tindakan nyata.

“Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal masih berjalan lambat. Saat ini, 848 ribu hektare kawasan kelolaan masyarakat yang difasilitasi Walhi belum diakui pemerintah. Padahal, kawasan tersebut terbukti memiliki tingkat deforestasi yang lebih rendah, lebih efektif menyimpan karbon, dan menjaga keanekaragaman hayati,” kata Bayu.

“Pengakuan hukum atas hak atas tanah mereka tidak hanya penting secara moral, namun juga merupakan strategi iklim yang praktis dan terbukti,” katanya.

Bayu juga menyoroti pernyataan utusan khusus Presiden RI untuk Iklim dan Energi, Hashim S Djojohadikusumo, yang mengatakan bahwa Indonesia datang ke COP30 sebagai mitra konstruktif, membawa instrumen kebijakan seperti SNDC, keputusan presiden tentang karbon, dan Dana Hutan Tropis.

Menurutnya, tanpa perbaikan kebijakan perizinan dan penghentian deforestasi, komitmen tersebut tidak cukup untuk merespons krisis iklim yang semakin mendesak. Instrumen kebijakan yang ada saat ini tidak dapat menggantikan tindakan nyata di lapangan, terutama dalam hal perlindungan ekosistem dan pengakuan hak-hak masyarakat.

(Ryn/Anak)