Jakarta, Pahami.id –
Ketua Umum Relawan Persatuan Merah Putih yang berstatus tahanan Silfester Matutina dikatakan akan mengajukan peninjauan kembali (hal) untuk kedua kalinya dalam perkara pencemaran nama baik dan fitnah.
Kuasa hukum Silfester, Lechumanan mengatakan, hal itu dilakukan setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak PK yang diajukan kliennya karena tidak hadir dalam persidangan.
“Rencananya kami akan mengajukan PK yang kedua,” ujarnya kepada wartawan di Bareskrim Polri, Kamis (9/10).
Lechumanan menegaskan, permohonan PK merupakan hak kliennya menurut hukum. Untuk itu, dia meminta Kejaksaan tidak memaksakan proses pelaksanaan terhadap relawan Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
Sebaliknya, ia menilai proses pelaksanaan KTP Bumn Pangan dalam kasus pencemaran nama baik disebut tidak mampu menjalankan kejaksaan karena kasusnya sudah berakhir. Hal itu, kata dia, juga terlihat setelah gugatan Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (Aruki) ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Jelas klaimnya ditolak, maksudnya apa? Implementasinya tidak boleh dilakukan lagi, kejadiannya sudah berakhir dan tidak memenuhi syarat lagi, ujarnya.
Silfester dijerat kasus pencemaran nama baik dan pencemaran nama baik setelah Solihin Kalla, putra Jusuf Kalla, melaporkan hal tersebut pada pidatonya tahun 2017 lalu.
Silfester dalam pidatonya menuding Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) memanfaatkan isu Sara untuk memenangkan Pasangan UNO Baswedan-Anies di Pilkada DKI Jakarta.
Silfester divonis 1 tahun penjara pada 30 Juli 2018. Putusan tersebut kemudian dikuatkan pada tahap banding yang dibacakan pada 29 Oktober 2018.
Pada tingkat kasasi, majelis hakim menambah hukuman silfester menjadi 1 tahun 6 bulan penjara. Namun hingga saat ini keputusan majelis hakim belum dilaksanakan.
Silfester sebenarnya mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Baru-baru ini, permohonan PK resmi ditolak oleh Ketua Majelis Hakim I Ketut Darpawan.
Mahkamah Agung mengeluarkan Nomor 7 Tahun 2014, dengan ketentuan permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi untuk jangka waktu tertentu.
Namun tuntutan peninjauan kembali yang diajukan lebih dari satu kali hanya sebatas pada alasan-alasan yang tercantum dalam sema nomor 10 tahun 2009, sehingga tuntutan peninjauan kembali yang kedua kali hanya sebatas adanya dua atau lebih hasil penelitian yang saling bertentangan, baik dalam perkara pidana maupun dalam perkara perdata.
(TFQ/Dal)