Jakarta, Pahami.id –
Tim dukungan cepat atau tim dukungan cepat (RSF) menjadi fokus setelah menduduki sebuah kota di Negara Bagian Darfur, El Fasher, Sudan Diduga, sekitar 2.000 warga sipil tewas pekan lalu.
Dalam video yang beredar di media sosial, anggota RSF diduga melakukan penyiksaan dan eksekusi warga. Di masa lalu, para personel paramiliter ini juga disebut-sebut kerap mencatat kekejaman yang dilakukan.
Implementasinya terjadi selama perang saudara di Sudan. RSF dan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) saling berebut kekuasaan.
Siapa RSF?
Kelompok paramiliter ini awalnya dibentuk dengan nama “Janjaweed”, yaitu kelompok bersenjata suku nomaden yang mendukung Presiden Omar Al Bashir.
Kemudian pada tahun 2013, Bashir meresmikan Janjaweed menjadi Pasukan Dukungan Cepat Paramiliter yang beranggotakan 100.000 orang. Empat tahun kemudian, Sudan mengesahkan undang-undang yang memberikan kelompok tersebut banyak kekuasaan sebagai pasukan keamanan independen.
Kemudian pada tahun 2019, Sudan dilanda pemberontakan. RSF malah memanfaatkan kesempatan tersebut dan terlibat dalam menggulingkan pemerintahan Al Bashir. Dua tahun setelah itu, mereka bersekutu untuk menggulingkan Perdana Menteri Sipil Abdalla Hamdok.
Namun ketegangan keduanya mulai terjadi. RSF meminta untuk diintegrasikan dengan TNI.
Permintaan ini tidak pernah dieksekusi. Mereka pun memperebutkan siapa yang berhak memimpin negara. Kemudian pada tahun 2023, Perang Saudara di Sudan pecah.
Pemimpin RSF Mohammed Hamdan Hemedeti Dagolo mengatakan kelompok itu ingin memimpin Sudan, menyusul langkah mereka yang mengepung wilayah tersebut.
“Untuk menciptakan perdamaian sejati,” kata Hemedeti seperti dikutip Al Jazeera.
RSF juga terus merebut wilayah strategis di Sudan. Saat itu, mereka kerap melakukan kekerasan bahkan pembunuhan.
Dalam dua hari terakhir, lebih dari 26.000 orang mengungsi, sebagian besar berjalan kaki ke Tawila. Sementara itu, sekitar 177.000 warga masih terjebak di Kota El Fasher.
(ISA/DNA)

