Jakarta, Pahami.id —
rencana Kementerian Agama (Kementerian Agama) mengubah Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan tempat pernikahan bagi seluruh umat beragama mendapat tanggapan yang beragam.
Sebelumnya, KUA hanya diperuntukkan bagi pernikahan umat Islam. Bagi agama lain khususnya pencatatan perkawinan dilakukan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie menilai rencana Kementerian Agama sukses.
Ia meyakini hal ini merupakan wujud kepedulian nasional dalam memberikan pelayanan yang adil kepada seluruh warganya.
“Saya kira ini bukan kendala tapi terobosan yang patut diapresiasi,” kata Tholabi saat dihubungi melalui pesan tertulis, Selasa (27/2).
<!–
/4905536/CNN_desktop/cnn_nasional/static_detail
–>
Ia menyambut baik rencana tersebut karena esensi Kementerian Agama sebagai organisasi negara yang melayani kepentingan seluruh umat beragama dapat terwujud.
Menurut dia, rencana menjadikan KUA sebagai tempat penyelenggaraan upacara pernikahan dan pencatatan pernikahan bagi seluruh umat beragama merupakan sebuah gagasan. di luar kotak dan rasional.
“Dari sisi ketatanegaraan misalnya, ini akan sangat berguna dalam rangka integrasi data nikah komunitas. Selama ini data nikah muslim masih terbagi di Kementerian Agama, dan non-Muslim di kementerian lain,” ujarnya. dikatakan. lanjutan.
Harmonisasi peraturan dan organisasi
Tholabi menambahkan, rencana tersebut perlu disusun melalui berbagai aspek, baik regulasi, organisasi, dan kemampuan sumber daya manusia (SDM).
Penting untuk menyatukan berbagai aspek ini untuk memastikan bahwa rencana tersebut berjalan lancar.
“Untuk mewujudkan gagasan tersebut, tentu saja beberapa aspek seperti regulasi, organisasi, dan sumber daya manusia perlu diselesaikan terlebih dahulu,” imbuhnya.
Dari sisi regulasi, jelas Tholabi, baik secara eksplisit maupun implisit, pencatatan perkawinan masih ditempatkan pada dua klaster, yakni pencatatan perkawinan bagi umat Islam dan pencatatan perkawinan bagi non-Muslim.
Rencana Kementerian Agama di atas bersinggungan dengan sejumlah peraturan yang ada seperti UU 32/1954 tentang Penetapan UU 22/1946 tentang Pencatatan Perkawinan, Perceraian dan Perdamaian, UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, PP 9/1975 tentang Penyelenggaraan. UU 1/1974 tentang Perkawinan, Peraturan Menteri Agama (PMA) 20/2019 tentang Pencatatan Nikah, dan PMA 34/2016 tentang Organisasi dan Tata Cara Kantor Urusan Agama (KUA) Kabupaten.
“Peraturan hukumnya harus terkoordinasi, apalagi UU Administrasi yang mengatur tentang penyelenggaraan perkawinan bagi warga negara. Muslim di KUA dan non-Muslim di KCS. Prosesnya tentu akan memakan waktu lama. Belum lagi harmonisasi aturan di bawah ini,” kata Tholabi.
“Tapi secara prinsip bisa saja, hanya memerlukan proses yang panjang karena cukup mendasar,” lanjutnya.
Ia juga mengingatkan, rencana Kemenag akan berdampak pada hal lain seperti koordinasi dan koordinasi, baik dari segi regulasi maupun pengalihan beban kerja antar instansi.
Jadi, bukan hanya soal regulasi tapi kita harus menyamakan persepsi antara kementerian dan pelaksana teknis di lapangan, kata Tholabi.
Kendala ritual
Respon positif Guru Besar UIN ini berbeda dengan sikap Persatuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI).
PGI meminta Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dan jajarannya mempertimbangkan rencana tersebut dan mendiskusikannya terlebih dahulu dengan seluruh tokoh agama.
Sekretaris Eksekutif Keadilan dan Perdamaian PGI Henrik Lokra mengatakan, dalam agama Kristen, pernikahan adalah urusan pribadi dan tugas gereja adalah memberkati pernikahan seseorang.
Ia menilai negara telah mengatur administrasi kependudukan dengan baik. Sebaliknya, gereja bertanggung jawab untuk memberkati pernikahan.
“Sebaiknya pertimbangkan baik-baik. Karena dalam agama Kristen, pernikahan adalah urusan pribadi, dan tempatnya di kantor sipil. Gereja bertugas untuk memberkati pernikahan yang merupakan ranah pribadi seseorang,” kata Henrek melalui pesan singkat kepada CNNIndonesia . .com, Senin (26/2).
Kekhawatiran PGI diutarakan Syafaul Mudawam, Dosen Hukum Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Secara umum, dia menyambut baik gagasan pencatatan perkawinan semua agama di KUA. Meski demikian, ia menyoroti pelaksanaan pernikahan di setiap agama yang sudah memiliki aturan internal sesuai ajarannya. Menurutnya, hal tersebut menjadi kendala untuk mewujudkan rencana Kementerian Agama dalam waktu dekat.
“Kalau birokrasi atau pencatatan nikah bisa dilakukan di semua KUA, tapi persoalannya ada kendala, yakni persoalan perkawinan itu menyangkut persoalan spiritual atau ritual. Itu persoalan,” kata Syafaul.
“Apakah setiap agama menempatkan prosesi pernikahan sebagai sebuah upacara ritual atau tidak. Seperti dalam agama Islam merupakan prosesi upacara ritual, dan sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat muslim. Begitu pula di agama non Islam seperti Katolik dan Kristen sendiri sebagai ritual yang dilakukan. keluar “Berkah bahasa itu di gereja,” tambah Syafaul.
Terkait permasalahan tersebut, Syafaul menyatakan Kementerian Agama perlu melakukan pembahasan atau koordinasi lebih lanjut dengan pihak terkait yakni seluruh tokoh agama.
Ya, karena ini menyangkut upacara ritual, kata Syafaul menjelaskan pekerjaan rumah Kementerian Agama berkoordinasi dengan pihak terkait.
(ryn/wis)
!function(f,b,e,v,n,t,s){if(f.fbq)return;n=f.fbq=function(){n.callMethod?
n.callMethod.apply(n,arguments):n.queue.push(arguments)};if(!f._fbq)f._fbq=n;
n.push=n;n.loaded=!0;n.version=’2.0′;n.queue=[];t=b.createElement(e);t.async=!0;
t.src=v;s=b.getElementsByTagName(e)[0];s.parentNode.insertBefore(t,s)}(window,
document,’script’,’//connect.facebook.net/en_US/fbevents.js’);
fbq(‘init’, ‘1047303935301449’);
fbq(‘track’, “PageView”);