Jakarta, Pahami.id —
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan pengujian ulang Pasal 7 ayat 2 UU 10/2016 tentang Perubahan Kedua UU 1/2015 tentang Penetapan Perppu 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU ( disingkat Hukum). UU Pilkada) yang dihadirkan Abu Rizal Biladina sebagai mahasiswa tidak jelas dan kabur.
Putusan: Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima, kata Ketua Hakim Suhartoyo pada sidang pembacaan putusan, Kamis (31/10).
Hakim Konstitusi Arsul Sani mengklarifikasi kesalahan permohonannya. Dalam pengujian permohonan yang diterima Mahkamah, kata Arsul, pemohon memasukkan judul pada bagian pokok bahasan yaitu “Permohonan perubahan materiil Pasal 7 ayat 1 UU 10/2016.”
Sedangkan dalam perkara yang dimohonkan (petitum) ke Mahkamah, pemohon justru menuliskan Pasal 7 ayat 1 UU 1/2015 tentang Penetapan Perppu 1/2014 menjadi Undang-Undang.
“Dengan demikian, terdapat ketidaksesuaian antara pokok permohonan dengan petitum permohonan mengenai undang-undang yang menjadi objek pengujian,” kata Arsul.
Lebih lanjut, dalam permohonannya, pemohon mengacu pada Pasal 7 ayat 1 UU 1/2015. Namun ketentuan tersebut tidak terdapat dalam UU 1/2015 melainkan merupakan norma dalam UU 10/2016.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, terdapat kesalahan objekto dalam permohonan pemohon karena norma pasal yang diajukan pengujian tidak terdapat dalam UU 1/2015.
“Pada sub-ayat 3.3.1 sampai dengan sub-ayat 3.3.4 terdapat pertentangan antara positum dan petitum serta adanya kesalahan pada objek yang diuji dalam permohonan a quo sehingga permohonan pemohon tidak jelas atau kabur,” kata Arsul. . .
Abu Rizal Biladina mengusulkan uji materi Pasal 7 ayat 2 UU Pilkada karena menurutnya ada masalah pada mekanisme pencalonan bupati. Salah satunya, menurutnya, kepala daerah sebagai unsur wakil pemimpin dari suatu daerah perlu dipilih berdasarkan domisilinya untuk memastikan pihak-pihak yang berkepentingan memahami permasalahan daerah yang dipimpinnya.
(ryn/fra)