Jakarta, Pahami.id –
Dewan Cendekia Indonesia (Mui) Mendorong semua pemimpin agama di Indonesia untuk memainkan peran dalam membangun kesadaran ekologis di tengah masyarakat, karena krisis iklim telah menjadi ancaman nyata.
“Pelestarian lingkungan adalah ibadah. Hutan kerusakan berarti merusak kehidupan generasi mendatang,” kata Ketua MUI untuk kesehatan dan lingkungan Sodikun di Jakarta pada hari Sabtu (12/7).
Pernyataan Sodikun disajikan dalam diskusi para pemimpin agama yang diprakarsai oleh Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia dengan MUI Institute of Environment and Natural Resources (LPL SDA).
Dalam briefing ini ambil tema ‘Menggabungkan Sains dan Spiritualitas: Peran Pemimpin Agama dalam Perlindungan Hutan dan Masyarakat Adat‘. Program diskusi ilmiah ini akan dilakukan di setiap majelis agama. Setelah Mui, diskusi untuk Muhammadiyah, Nu, PGI, Kwi, Phdi, Permabudhi, dan Matakin.
Dalam diskusi di MUI, Sodikun menekankan bahwa masalah lingkungan adalah masalah universal yang menyentuh semua aspek kehidupan manusia. Melestarikan sifat ajaran agama yang melarang kerusakan pada bumi.
“Kami ingin memperkuat kemampuan para pemimpin agama untuk menjadi katalis untuk perubahan di tingkat akar rumput. Sinergi antara sains dan nilai -nilai agama akan menciptakan solusi yang lebih holistik,” katanya.
Fasilitator Nasional Indonesia di Indonesia Mayu Prabowo menghadirkan tantangan kerusakan pada hutan tropis dan krisis iklim harus dihadapkan dengan pendekatan multidimensi.
“Sains memberi kita peta jalan, data, dan teknologi, tetapi untuk benar -benar mendorong perubahan perilaku, kita membutuhkan suara moral yang kuat. Di sinilah peran para pemimpin agama dan majelis agama sangat penting,” katanya.
Menurutnya, kerusakan lingkungan telah menyebabkan peningkatan bencana hidrometeorologis seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, dan badai. Lebih dari 95 persen bencana di Indonesia secara langsung terkait dengan krisis iklim yang diperburuk oleh pertahanan hutan dan kerusakan hutan.
“Gerakan antar beragama dilakukan untuk mengembangkan konservasi berdasarkan kebijaksanaan lokal, memperkuat kemampuan analisis dasar untuk kompilasi Ringkas Berdasarkan sains dan etika agama untuk kehidupan yang berkelanjutan, “katanya.
Sementara itu Wakil Sekretaris Jenderal dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di bidang politik dan hukum Erasmus Cahyadi menyoroti masyarakat adat di Indonesia masih terperangkap dalam diskriminasi, derivasi teritorial, dan melemahnya hukum adat karena kebijakan sektor yang tumpang tindih dan kurangnya perlindungan hukum.
Menurutnya, investasi yang memasuki area tradisional sering mengabaikan persetujuan masyarakat, merusak ruang tamu, memicu kejahatan, kerusakan lingkungan, dan hilangnya identitas budaya.
Erasmus menekankan bahwa rancangan undang -undang (RUU) adalah solusi penting untuk menekankan hak -hak masyarakat adat sebagai hak asasi manusia.
Undang -undang ini akan memperkuat institusi, memfasilitasi mekanisme pengakuan, dan mengendalikan hak -hak tanah, lingkungan, kesehatan, pendidikan, dan pengetahuan tradisional.
“Hukum asli harus menjadi keadilan dan pengakuan sejati untuk masyarakat adat di seluruh Indonesia,” katanya.
(Antara/anak -anak)