Jakarta, Pahami.id –
Pakar Hukum Universitas Gadjah Mada (Ugm) Yance Arizona mengevaluasi Draf undang -undang (RUU) masyarakat adat Perlu diatur ulang dengan draft baru yang lebih relevan untuk menjawab kompleksitas masalah hukum yang dihadapi masyarakat adat saat ini.
“Jika Anda menggunakan draft lama, masalah ini tidak dapat diselesaikan, jadi perlu untuk memberikan rancangan rancangan baru dalam perkembangan nasional dan regional,” kata Yance dalam sebuah pernyataan di Yogyakarta pada hari Sabtu (5/31), mengutip Di antara.
Menurutnya, banyak artikel dalam draft lama tidak dapat menyelesaikan masalah peraturan sektor yang tumpang tindih, seperti keberadaan undang -undang dan peraturan adat dalam kehutanan, pertanian, dan pertambangan.
Oleh karena itu, ia menyarankan bahwa draft draft dilakukan dengan pendekatan kodifikasi menggunakan metode omnibus.
“Pendekatan kodifikasi melalui metode omnibus adalah alternatif, sehingga undang -undang sektoral yang dapat dikumpulkan dan dikoordinasikan,” katanya.
Selain itu, Yance juga meminta lebih banyak proses hukum untuk menjangkau masyarakat adat yang sering tidak memiliki cukup akses ke informasi.
Menurutnya, partisipasi yang berarti bukan hanya formalitas, tetapi keterlibatan aktif dari tahap perencanaan untuk evaluasi.
Pemerintah, katanya, harus mengadopsi pendekatan multi -bahasa dan melibatkan fasilitator lokal sehingga suara -suara penduduk asli sebenarnya diwakili dalam proses hukum.
“Ini juga merupakan tantangan bagi pemerintah untuk memberlakukan undang -undang adat yang baik untuk berpartisipasi dan mengikuti kebutuhan orang -orang di berbagai tempat,” katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Legislatif DPR RI (BALEG) Martin Manurung mengatakan kepemimpinan DPR memberikan dukungan bagi RUU tersebut pada komunitas adat yang akan dibahas segera setelah beberapa kali dalam Program Hukum Nasional (Prolegnas).
RUU Undang -undang Pribumi itu sendiri telah memasuki prioritas tahun 2025. RUU ini pertama kali diusulkan ke Parlemen pada tahun 2009 dan dalam 15 tahun terakhir telah dimasukkan dalam Prologas nasional meskipun belum dikonfirmasi hingga saat ini.
Sebaliknya, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menekankan tidak adanya undang -undang yang mengendalikan implementasi perlindungan, pelestarian, dan penghormatan terhadap masyarakat adat.
Faktanya, artikel dalam Konstitusi jelas mengendalikan keberadaan komunitas adat dengan Pasal 18B paragraf (2), Pasal 28i paragraf (3) dan Pasal 33 paragraf (3) Konstitusi 1945.
Pengadilan Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-VIII/2010 dan 31/PUU-V/2007 juga telah memperkuat posisi hukum adat.
(FRA/antara/FRA)