Berita Negara Mayoritas Muslim Tajikistan Sahkan UU Larang Gunakan Hijab

by


Jakarta, Pahami.id

Tajikistan mengesahkan undang-undang yang melarang penggunaan syal panjang minggu lalu.

Parlemen negara mayoritas Muslim tersebut mengadopsi rancangan undang-undang tentang “tradisi dan perayaan”.


RUU tersebut melarang penggunaan, impor, penjualan dan pemasaran “pakaian asing dalam budaya Tajikistan”. Mayoritas pejabat dan masyarakat menggambarkan larangan tersebut ditujukan pada pakaian khas Muslim.

RUU tersebut juga memuat sanksi administratif dan denda bagi pelanggar.

Salah satu alasan pemerintah melarang penggunaan jilbab dan atribut keagamaan lainnya adalah “untuk melindungi nilai-nilai budaya nasional” dan “mencegah takhayul dan ekstremisme”.

Dalam beberapa tahun terakhir, Tajikistan terus memperketat pembatasan penggunaan pakaian dan atribut keagamaan, khususnya pakaian muslim, di sekolah dan tempat kerja.

Dengan undang-undang ini, Tajikistan kabarnya akan memperpanjang larangan mengenakan jilbab di tempat umum.

Dalam peraturan baru ini, warga juga diimbau untuk lebih sering mengenakan pakaian nasional Tajikistan.

Dikutip Berita Eurobagi yang melanggar undang-undang ini akan dikenakan denda sebesar 7.920 somoni atau sekitar Rp 12,1 juta untuk warga biasa, sekitar 54 ribu somoni (Rp 82,6 juta), dan 57.600 somoni (Rp 88,1 juta) untuk tokoh agama.

Undang-undang tersebut juga melarang tradisi “iydgardak” Muslim Tajik yang berlangsung selama Idul Fitri. Iydgardak adalah tradisi ketika anak-anak mengunjungi rumah dan mendapatkan uang jajan.

Pengesahan undang-undang ini mengejutkan dunia internasional karena mayoritas penduduk Tajikistan beragama Islam.

Berdasarkan data sensus tahun 2020, sekitar 96 persen dari total penduduk Tajikistan yang berjumlah 10,3 juta jiwa adalah Muslim.

Sejauh ini, pemerintahan Presiden Emomali Rahmon berupaya menerapkan sekularisme dan mengesampingkan praktik keagamaan dalam politik dan masyarakat Tajikistan.

Dikutip Radio Gratis EropaSeorang perempuan Tajik bernama Salomat menceritakan keluh kesahnya terhadap larangan ini.

Salomat mengatakan, setelah lulus sekolah kedokteran beberapa tahun lalu, ia terpaksa bekerja sebagai tukang pijat di sebuah salon kecantikan di ibu kota Dushanbe karena rumah sakit di Tajikistan melarang penggunaan jilbab.

Salomat rela melepas hijabnya untuk menyelesaikan pendidikan tingginya di fakultas kedokteran. Namun, dia merasa tidak perlu mempertaruhkan karier atau keyakinannya ketika ingin mulai bekerja.

“Saya harus memilih antara karier dan keyakinan saya, dan saya memilih yang terakhir,” kata Salomat.

“Saya melepas hijab saat kuliah karena saya pikir itu hanya sementara. Tapi karier adalah untuk seumur hidup,” tambahnya.

Salomat hanyalah satu dari jutaan perempuan lain di Tajikistan yang menghadapi pilihan yang sama ketika pemerintah sekuler di Dushanbe memperketat larangan jilbab di sekolah dan tempat kerja.

(rds)