Jakarta, Pahami.id –
Warga negara maju belum tentu kebal dari sasaran sindikat online atau penipuan Penipuan daring Internasional. Salah satunya Korea Selatan.
Korea Selatan masih menjadi target geng kriminal penipuan online di Kamboja.
Pekan lalu, pemerintah Korea Selatan mendeportasi 64 korban dan pelaku penipuan online di Kamboja. Dari jumlah tersebut, ada pula yang ditahan polisi setibanya di Bandara Incheon karena dianggap terkait kejahatan.
Sebelumnya, seorang pelajar Korea Selatan di Taman Keluarga ditemukan tewas setelah diculik dan disiksa oleh penipu online di Kamboja pada Agustus lalu. Baru-baru ini, seorang wanita berusia 30-an juga diduga menjadi korban penipuan online.
Mengapa begitu banyak warga Korea Selatan yang menjadi korban penipuan online?
Beberapa media lokal memberitakan banyak warga Korea Selatan yang pergi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan.
Peneliti senior di Korea Labour Institute, Kim Yoo Bin, mengatakan peningkatan jumlah orang yang meninggalkan Korea Selatan mencerminkan memburuknya pasar tenaga kerja dalam negeri.
Kim mengatakan beberapa perusahaan dalam negeri telah mengurangi jumlah pekerja sementara dan perekrutan dibatasi hanya pada sekelompok profesional berpengalaman.
Sementara itu, banyak generasi muda yang baru lulus kuliah belum memiliki pengalaman di dunia kerja.
Artinya, tanpa pengalaman sebelumnya, sulit mendapatkan pekerjaan, sehingga cukup menantang bagi Anda yang masih muda untuk mendapatkan pekerjaan saat ini, kata Kim pekan ini di Asia, mengutip Pos Pagi Tiongkok Selatan.
Generasi muda di Korea Selatan juga ingin cepat bekerja karena tidak ingin mengalami stigma sebagai pengangguran.
Di tengah kesulitan-kesulitan ini, iklan pekerjaan yang menggiurkan bermunculan secara online: pekerjaan mudah dengan gaji tinggi. Pada akhirnya, iklan ini menjadi pintu gerbang menuju penipuan online atau penipuan online.
Jaringan kriminal ini telah menyebar dan mengakar di Kamboja, Myanmar dan Laos, yang merupakan pusat utama perdagangan manusia dan operasi penipuan.
Profesor dari Universitas Nasional Pukyong di Busan, Jung Bub Mo, mengatakan jaringan kriminal sulit dideteksi karena mencakup operasi menggunakan alamat IP dari negara tetangga seperti Thailand.
“Sebagian besar kantong ekonomi di Asia Tenggara terletak di dekat perbatasan sehingga kelompok ini cenderung beroperasi di kota-kota perbatasan,” kata Jung mengutip Waktu Korea.
Tiongkok, lanjutnya, merupakan investor terbesar di zona panas tersebut. Situasi ini menyulitkan negara-negara seperti Kamboja, Laos, dan Myanmar untuk menjalankan kedaulatan penuh karena ikatan ekonomi mereka.
Ketiga negara ini sangat bergantung pada Tiongkok, terutama dalam hal bantuan ekonomi atau keuangan.
Lebih lanjut, Jung mengatakan semakin banyak organisasi kriminal yang beroperasi di hot spot, maka semakin sulit memberantas kejahatan transnasional.
Kota pesisir Sihanoukville di Kamboja, yang dulu terkenal dengan pantainya yang indah, kini menjadi basis jaringan kriminal Tiongkok. Kota ini, seperti Myawaddy di Myanmar dan Bamban di Filipina, merupakan pusat penipuan online, perbudakan, perdagangan manusia, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Berdasarkan catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lebih dari 100.000 orang diyakini terlibat dalam penipuan online baik sebagai pelaku maupun korban.
(ISA/RDS)