Berita Mengapa AS Selalu Mau ‘Mendikte’ Perdamaian Arab-Israel?

by
Berita Mengapa AS Selalu Mau ‘Mendikte’ Perdamaian Arab-Israel?


Jakarta, Pahami.id

Tidak hanya sekali Amerika Serikat selalu ‘menentukan’ dalam perjanjian damai dengan negara-negara Arab-Israel.

Lebih dari 50 tahun yang lalu, Amerika Serikat adalah penggagas dan mediator. Selama Perang Arab-Israel tahun 1967, Presiden Lyndon Johnson mengupayakan penarikan Israel dari wilayah pendudukan dengan imbalan penyelesaian damai dengan tetangga Arabnya.


Formula ini tetap menjadi dasar seluruh upaya perdamaian Amerika di Timur Tengah hingga saat ini. Kemudian ketika perang Yom Kippur pecah pada tahun 1973, Amerika Serikat kembali terlibat dalam perjanjian Camp David yang menandai perdamaian Israel-Mesir.

Kemudian pada masa konflik Palestina-Israel pada tahun 1990-an, Amerika Serikat kembali mengambil peran melalui perjanjian Oslo tahun 1993 dan 1995.

Dan terakhir konflik Hamas Palestina-Israel pada tahun 2025 yang memaksa Israel menghentikan agresinya terhadap Jalur Gaza melalui KTT Gaza di Mesir dengan Presiden Donald Trump sebagai penggagasnya.

Mengapa AS selalu ingin ‘mendikte’?

Dikutip dari situs Council on Foreign Relations, Timur Tengah telah lama menjadi fokus perhatian Amerika ketika pemerintahan berturut-turut mengejar serangkaian tujuan yang saling berhubungan, termasuk mengamankan sumber daya energi vital, melawan pengaruh Soviet dan Iran, memastikan kelangsungan hidup dan keamanan Israel dan sekutu Arabnya, melawan terorisme, memajukan demokrasi, dan mengurangi arus pengungsi.

Oleh karena itu, Amerika Serikat berupaya menyelesaikan konflik Israel-Palestina, yang merupakan pendorong utama dinamika regional, dengan tujuan mencapai tujuan strategis ini sambil menyeimbangkan dukungannya terhadap Israel dan mendorong stabilitas regional yang lebih luas.

Pada saat yang sama, perselisihan ini menjadi kekhawatiran utama bagi komunitas Yahudi Amerika dan Kristen Evangelis, yang keduanya merupakan pendukung kuat Israel. Dan hal ini berdampak pada politik dalam negeri AS sendiri.

Ketertarikan AS dalam menyelesaikan konflik di Timur Tengah sebenarnya sudah menurun dalam beberapa tahun terakhir.

Terutama setelah terjadinya pemberontakan pada tahun 2011 yang dikenal dengan Arab Spring. Selain itu, hubungan AS dengan Iran dan negara-negara Teluk Arab tidak lagi bergantung pada isu Israel-Palestina, sehingga konflik ini menjadi kurang menjadi prioritas.

Setelah Perang Enam Hari tahun 1967, Amerika Serikat berusaha menengahi konflik Arab-Israel yang lebih luas dengan Inggris, Prancis, Rusia, dan PBB.

Namun, perang tahun 1973, di mana Israel sejak awal mengalami kesulitan mempertahankan diri dari serangan pasukan Mesir dan Suriah, yang memaksa Amerika Serikat untuk memimpin diplomasi di masa depan. Meskipun Israel memenangkan konflik secara militer, negara-negara Arab memberikan pukulan psikologis yang besar.

Perang ini juga merupakan titik balik penting bagi kebijakan luar negeri AS karena mendorong produsen minyak Arab untuk memberlakukan embargo minyak yang merugikan Amerika Serikat, dan menyebabkan Amerika Serikat mendukung Israel dan Uni Soviet mempersenjatai Mesir dan Suriah.

(IMF/BAC)